Jumat, 03 Desember 2010

Bagaimana Bermuamalah dengan Orang-orang Kafir

Tafsir ayat 8 surat Al-Mumtahanah dari Adhwaul Bayan karya Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi

Firman Allah Ta'ala,

{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} [الممتحنة: 8] {إِنَّما يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ} [الممتحنة: 9]

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8-9)

Sebagian ahli tafsir menganggap ayat pertama rukhshah di awal surat. Namun dalam dua ayat ini menjelaskan dua golongan musuh dan cara bermuamalah dengan keduanya.

Golongan pertama, musuh yang tidak memerangi kaum muslimin karena persoalan dien dan tidak mengusir mereka dari negerinya. Untuk golongan pertama ini Allah Ta'ala berfirman,
{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ}
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

Golongan kedua, musuh yang memerangi kaum muslimin, mengusir dari negerinya dan membantu dalam proses pengusiran mereka. Untuk golongan ini Allah Ta'ala berfirman,

Senin, 11 Oktober 2010

Dangkal Pikiran (As-Sath-hiyyah)


 Oleh, Dalia Risywan

Dangkal pikiran sifat yang sudah tersebar luas di tengah masyarakat Arab. Sedikit sekali yang mampu lepas dari penyakit ini. Karena sedikit yang bisa melepaskan dari penyakit ini maka belum cukup untuk membangkitkan kembali peradaban arab-islam. Sifat ini bukan tanpa sebab. Sebab terpenting munculnya adalah kesalahan dalam mendidik yang menanamkan pemikiran konsumtif pada akal generasi muda. Serta, pendidikan yang menanamkan persepsi bahwa bekerja itu berat, tidak enak. Padahal, manusia diciptakan untuk itu, hingga bisa memakmurkan bumi. Juga persepsi bahwa berpikir juga pekerjaan berat. Setiap orang harus menjadi orang makmur. Sehingga akan menghindarkannya dari semua beban berat tersebut. Ditambah lagi, arus media negara-negara arab yang mengalir mengikuti keinginan banyak orang yang membentuk daya tarik yang diinginkan oleh naluri manusia, bukan daya tarik yang dibutuhkan manusia untuk membangun masyarakat. Sekalipun keduanya sama-sama punya daya tarik. Namun pilihan kedua membutuhkan usaha yang lebih keras. Pada akhirnya, yang mudahlah yang akan dipilih. Dengan mengabaikan pertimbangan, bahwa daya tarik pertama berpotensi menghancurkan sedang daya tarik kedua berpotensi membangun. Pilihan ini sendiri adalah bentuk kedangkalan pikiran.
Masalah terbesar adalah bahwa media massa menjadi begitu terbuka. Setiap orang yang mempunyai fasilitas internet atau hand phone (HP) membuatnya dapat mengekspresikan pikirannya, sekalipun masih dangkal, sekaligus punya daya tarik sehingga bisa menarik banyak orang yang tertarik pada pemikirannya tersebut. Bahkan bisa mempengaruhi kepribadian orang yang belum jelas kepribadiannya. Sehingga semakin tersebarluaslah pemikiran dangkal tersebut. Sebaliknya, sosok para pemikir dan orang bijak yang jumlahnya begitu banyak seolah-oleh tak terlihat dalam penglihatannya.

Kamis, 23 September 2010

Kaidah Menyelesaikan Perselisihan

Ustadz Abu Syakir

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang shalih sampai hari kiamat.

Banyak saudara-saudara kita yang merasa bingung ketika melihat kenyataan bahwa masing-masing orang, kelompok, jamaah, organisasi, dan harokah menganggap diri mereka paling benar. Kebingungan ini dikarenakan masing-masing pihak memiliki dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ketika mendengarkan dan menyimak pemaparan masing-masing pihak yang berbeda dalam suatu masalah seolah-olah semuanya benar karena memang masing-masing mengemukakan argumen yang dikuatkan dengan dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Hal ini yang membuat masing-masing pihak tetap bersikukuh dengan pendapat yang selama ini diikutinya. Bagi yang tidak mau dipusingkan dengan klaim masing-masing pihak ia berpikir, daripada bingung, lebih baik ikut pendapat yang selama ini sudah ia anggap benar.

Rabu, 22 September 2010

MENEPIS SYUBHAT PERNYATAAN JIHAD MENIMBULKAN FITNAH YANG LEBIH PARAH

 Faslul Kalam Fi Mas’alati Khuruj Alal Hukam pasal Syubhat Wuku Fil Fitnah
Penulis : Syeikh Al-Mujahid Abdul Mun’in Musthafa Halimah Abu Bashir
Alih Bahasa: Izzi Arsadana


Beberapa syubhat yang dilontarkan dan disebarkan oleh golongan anti jihad dalam memerangi pemerintahan thagut dan murtad…..bahwa keluar dari pemerintahan akan menimbulkan fitnah….pertumpahan darah…..mengakibatkan pembunuhan dan peperangan….menyia-nyiakan kemaslahatan yang banyak ….dan memunculkan dampak kerugian dan bencana yang telah dimaklumi.

Mereka begitu ketika mendengar ucapan “Keluar dari pemerintahan”, akan bersegera memperingati dan berkata: “Fitnah”…..”Fitnah”…..sesungguhnya statemen ini itulah sebenarnya fitnah, semoga Allah melaknatnya!!. Inilah syubhat-syubhat……… kami akan menyanggahnya dari berbagai pandangan.

Sesungguhnya fitnah hakiki ialah meninggalkan jihad dan mendiamkan memerangi para thagut kafir dan murtad. Mencampakkan jihad lebih utama disebut fitnah seperti disebutkan dalam hadist dari Jabir bin Abdullah berkata:

Senin, 13 September 2010

Fatwa Ibnu Taimiyah tentang Pelegalan Undang-Undang Buatan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata di dalam Majmu Fatawanya 28/524 :

ومعلوم بالاضطرار من دين المسلمين وباتفاق جميع المسلمين أن من سوغ انباع غير دين السلام أو اتباع شريعة محمد صلي الله عليه وسلم فهو كافر، وهو ككفر من آمن ببعض الكتاب وكفر ببعض الكتاب. كما قال الله تعال: “إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَن يُفَرِّقُواْ بَيْنَ اللّهِ وَرُسُلِهِ وَيقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَن يَتَّخِذُواْ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلا، أُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا”

“Dan sudah diketahui dengan pasti dari dien kaum muslimin dan dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin bahwa barangsiapa membolehkan mengikuti selain dienul Islam atau (membolehkan) mengikuti ajaran selain ajaran Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, maka dia itu kafir, dan ia itu seperti kekafiran orang yang beriman kepada sebagian Al Kitab dan kafir kepada sebagian yang lain, sebagaimana firman Allah ta’ala: ”Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan :”Kami beriman kepada sebagian dan kami kafir kepada sebagian (yang lain),” serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan.” [An Nisa: 150-151] ((Majmu’ Al fatawa: 28/524))

Inilah vonis bagi pemerintah yang melegalkan bagi rakyatnya atau warga negara untuk memeluk atau mengikuti agama apa saja, ideologi apa saja dan kepercayaan apa saja. Barangsiapa membolehkan mengikuti dien selain dienul Islam, maka dia kafir dengan kesepakatan seluruh kaum muslimin, sedangkan diantara makna dien adalah hukum atau undang-undang, sebagaimana firman-Nya ta’ala:

Kamis, 19 Agustus 2010

Hakikat Dien Al Islam



Oleh, Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
(semoga Allah membebaskannya dari penjara thagut)

“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 112)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh…” (Q.S. Luqman [31]: 22)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus….” (Q.S. Al Baqarah [2]: 256)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan Dia; ketika mereka Berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan Telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…” (Q.S. Al Mumtahanah [60]: 4)
Dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Kamis, 12 Agustus 2010

Al-Jabiri, Antara Tajdid dan Taghrib

Dr. Nirwan Syafrin*

Salah satu pemikir Arab yang banyak dijadikan rujukan dalam pembaruan dalam Islam adalah Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Pemikir asal Maroko ini baru saja meninggal 3 Mei 2010 lalu, pada usia 75 tahun. Di Indonesia, ide-idenya banyak dikaji. Sebagian kalangan – tanpa mengkaji dengan cermat – bahkan ada yang menelan mentah-mentah gagasan Jabiri tentang kategorisasi episteme, yaitu metode Bayani, ‘Irfani, dan Burhani.

Mulanya, Jabiri tidak ikut-ikutan mengkritik al-Quran, sebagaimana pemikir liberal lainnya. Tapi, pada 2006, terbit bukunya, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, yang mengisyaratkan ada yang “tercicir” dari al-Qur’an yang ada di tangan kaum Muslim sekarang ini.

Selasa, 10 Agustus 2010

HUKUM MEMBERONTAK KEPADA PARA PENGUASA

(Fashlu Al Kalaamu Fie Mas’alati Al Khuruuj ‘Alaa Al Hukkaami)
Penulis
‘Abdul Mun’im Mushthafa Halimah “Abu Basher”

Alih Bahasa
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
 

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang


Segala puji hanya milik Allah, kami memujiNya, kami memohon pertolonganNya dan kami memohon ampunanNya, serta kami berlindung kepada Allah dari keburukan jiwa kami dan dari kejelekan-kejelekan amalan kami. Siapa yang Allah beri dia petunjuk maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan siapa yang Dia sesatkan maka tidak ada yang dapat memberi dia petunjuk.


Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang berhak diibadahi) kecuali Allah saja, tidak ada sekutu bagiNya, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya, semoga sholawat dan salam dilimpahkan kepadanya, keluarganya, serta para sahabatnya. Wa ba’du:

Sesungguhnya masalah memberontak kepada para penguasa dan sikap Islam darinya, adalah tergolong sekian masalah yang penting yang manusia banyaknya terbagi menjadi dua madzhab dan dua kelompok.

Madzhab ifrath (berlebih-lebihan) dan ghuluw (melampaui batas) yang cenderung kepada pendapat bolehnya khuruj (keluar dari ketaatan/memberontak) terhadap para penguasa karena sekedar keterjatuhan mereka pada sedikit penyelisihan/penyimpangan syari’at. Dan sikap ini tercermin pada Khowarij dan orang yang masuk pada lingkaran mereka dari kalangan yang terpengaruh dengan mereka dan dengan manhaj mereka serta cenderung pada sikap ghuluw…!

Senin, 02 Agustus 2010

KISAH TENTANG KEINDAHAN AL-QUR’AN


Ibrahim Khidir

Sejak pertama kali diturunkan, Al-Qur’an sudah menjadi pembicaraan banyak cendikiawan dan sastrawan. Para penyair Arab bingung dengan kata-kata yang terlantun dari seorang ummiy (buta huruf) yang mengaku dirinya sebagai Nabi Akhir Zaman; Muhammad bin Abdullah ini.

Banyak sebab yang menjadi motif seseorang beriman kepada Al-Qur’an dan memilih masuk Islam. Diantara sebab tersebut banyak yang berkaitan langsung dengan Al-Qur’an. Motifnya pun bermacam-macam. Setidaknya ada tiga poin yang membuat seseorang menjadi beriman kepada Al-Qur’an. Pertama, Adanya kandungan syari’at yang lengkap dan sesuai dengan segala zaman. Kedua, Adanya kabar ghaib yang terbukti kebenarannya (menjadi kenyataan). Ketiga, Adanya dasar-dasar ilmu tentang penciptaan alam dan manusia.

Ketiga hal tersebut mungkin menyebabkan orang yang mengetahuinya akan beriman kepada Al-Qur’an. Namun, bagaimana dengan kala pertama Al-Qur’an diturunkan? Bukankan belum tergambar tentang kesempuraan syari’at? Bukankah kabar ghaib belum dapat dibuktikan? Dan bukankah hanya sedikit dari pengetahuan penciptaan (manusia) yang diungkapkan Al-Qur’an? Maka, harus ada hal lain yang membuat orang-orang kafir beriman ketika sejenak saja mendengarkan lantunan ayat Al-Qur’an. Harus ada motif yang mampu memberi kesan yang mendalam saat ‘pendengaran pertama’ yang membuat seseorang langsung jatuh cinta.

Kamis, 29 Juli 2010

Political Jihad

Oleh: Bambang Sukirno (Direktur Penerbit Jazera)

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)

Kalimat di atas dikutip syaikh Hazim Al-Madani dalam Hakadza Naral-Jihad (begini jihad yang kami pahami). Ia sering mendengar ungkapan itu sejak dulu kala. “Kalimat itu sangat populer di kalangan mujahidin Afghan, ada yang sepakat dan ada pula yang tidak,” demikian kenangnya. Kini, ia mulai menemukan relevansinya ketika banyak merenungkan perkembangan gerakan jihadis akhir-akhir ini. Berikut lanjutan refleksinya:

Sabtu, 24 Juli 2010

Menggugat Definisi Tauhid Rububiyah (revisi)

 Mus`ab Abdul Ghaffar


Muqaddimah

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang setia menjalankan sunnah-sunnahnya.

Wa ba’du,

Tauhid rububiyah merupakan macam pertama dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal luas oleh kaum muslimin. Memahaminya sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah sangat penting agar pemahaman kita terhadapnya tidak menyimpang dari pemahaman yang benar. Sehingga mengkaji definisi dan pengertiannya dengan mengkomparasikan definisi yang sudah ada dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah menjadi suatu hal yang sangat urgen. Ini untuk meyakinkan kita apakah definisi yang sudah ada sudah sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah ataukah belum.

Kajian ini merupakan salah satu bentuk usaha dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta'ala:

Konsep Iman dalam Tinjauan Hakikat


M. Ridho [1]


Iman atau yang biasa diterjemahkan sebagai kepercayaan atau keyakinan adalah dasar/ pokok dari ajaran Islam. Agama Islam mendasarkan seluruh amal manusia (pengikutnya) pada hal ini. Seluruh perhitungan pahala dan dosa bergantung pada keimanan seseorang. Masalah Iman ini adalah masalah al-asma` wal ahkam. Bahkan menurut Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah ra., salah dalam ismul imaan tidak seperti salah dalam ismul muhdats.

Pembahasaan ini kami anggap penting karena merupakan bagian dari ushuluddin. Siapa yang lemah dalam ushul tentu akan lemah pada perkara furu` (cabang). Juga perbedaan pada perkara cabang merupakan konsekuensi dari perbedaan pada perkara ushul. Sementara itu, banyak pihak yang berkepentingan untuk mencampurbaurkan dan merancukan konsep dasar dalam Islam.

Pernyataan tentang Iman dan Kufur (yang berarti juga menjelaskan konsepnya) mengandung konsekuensi yang berat dibelakangnya. Menyatakan seseorang sebagai muslim atau sebagai kafir bisa dianggap sebagai pernyataan tempat seseorang di akhirat. Jika ini dianggap benar, itu berarti orang-orang yang tidak mempercayai kehidupan akhirat diluar pembahasan ini. Maksudnya, dia tidak berhak ikut campur dalam hal-ihwal statment ini.

Rabu, 21 Juli 2010

AJWIBAH FI HUKMI AN-NAFIR (terjemah)

(Jawaban Tentang Hukum Berangkat Jihad dan Syarat Mengkafirkan)

Shaikh Abu Abdirrahman ‘Athiyatullah Al-Libiy

Alih bahasa: Abdurrahman Al-Faqir

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Syaikhuna Al-Karim (guru kami yang mulia),
demi Allah saya mencintai Anda karena Allah

[Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Wa ahabbakallah alladzi ahbabtani fih (semoga Allah mencintaimu, Dzat yang membuatmu mencintaiku karena-Nya)]

Guru kami yang mulia, saya mempunyai beberapa problem
Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang ikhwah (ia pernah berjihad di Afghanistan setelah peristiwa 11 September) mengenai masalah pergi berjihad dan hukumnya. Saya sebutkan bahwa hukumnya fardhu ‘ain. Ia berkata, “Apakah mujahidin membutukanmu sebagai seorang pribadi?. Yang saya tahu mereka lebih membutuhkan dana daripada orang. Bahkan sebaliknya. Sepekan yang lalu saya berkomunikasi dengan salah seorang ikhwah. Ia menyebutkan baru saja selesai tadrib. Di sana sudah enam bulanan tanpa pernah turun ikut pertempuran. Ditawari ikut amaliyah istisyhadiyah tapi tidak berminat. Sampai sekarang belum pernah turun ke medan pertempuran.”
Apakah perkataannya benar?? Apabila demikian halnya, apakah hukum pergi berjihad fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Apabila perkataannya tidak benar, apakah hukumnya fardhu ‘ain? Dan apakah saya harus minta izin kepada kedua orang tua atau tidak perlu?

Senin, 19 Juli 2010

Makna Tawhid Hakimiyah

 Shaikh Abdul Mun`im Musthafa Halimah Abu Basheer

Soal : Dapatkah Anda jelaskan makna Tawhid Hakimiyyah?

Penanya: Dalam pandangan saya tawhid ini adalah bagian dari pada tawhid Uluhiyah (Pengesaan Allah dengan ibadah kepada-Nya. penj). Sebagaimana saya pernah mendengar Syekh Muhammad bin Ibrahim, Syekh Bin Baz adalah diantara orang yang tidak mengajarkan Tawhid Hakimiyah ini kepada orang banyak. Dari sana banyak diantara golongan salafy saudi yang tidak mengacuhkan istilah ini dan menganggapnya sebagai bid’ah, apakah pendapat ini benar? Kemudian bisakah Anda tunjukkan kitab apa saja yang memuat keterangan tentang dimensi tawhid ini?

Ushulul Ahkam (Pokok-pokok Hukum) dan Qowa’idul Istimbath (Kaidah-kaidah Pengambilan Kesimpulan)

Shaikh Abu Majid al-Mas`ariy

Pasal 1:

Islam terwakili dalam wahyu yang diturunkan yang maksum (al-wahyu al-munazzal al-ma’shum). Wahyu tersebut semuanya sama dalam hal kemaksuman dan kekuatannya sebagai hujah. Ia terdiri dari:
1) Al-Qur'an, yaitu kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Muhammad SAW dengan lafal dan hurufnya. Sebagaimana tertulis antara dua sampul di lembaran-lembaran mushaf, terjaga dalam hafalan di dada, dibaca oleh lisan, terekam di kaset-kaset dan alat-alat perekam lainnya, ditransfer dari beliau SAW melalui tulisan dan langsung dari lisan beliau dengan derajat penukilan mutawatir, yang melahirkan ilmu yang qath’i dan dharuri bagi seluruh manusia, muslim dan kafir. lafalnya merupakan mukjizat dan membacanya adalah ibadah.
2) As-Sunnah an-nabawiyah (sunnah nabi), yaitu sabda-sabda (termasuk isyarat), perbuatan-perbuatan, dan ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Ia juga wahyu dari Allah SWT secara makna. Rasulullah SAW mengungkapkannya dengan kata-kata atau isyarat-isyarat beliau (isyarat-isyarat yang menggantikan posisi kata-kata). Demikian juga beliau SAW mengungkapkan dengan perbuatan beliau atau pengakuan beliau (yaitu dengan diamnya beliau terhadap suatu perkara) ketika beliau melihatnya atau informasinya sampai kepada beliau, yang diamnya tersebut menunjukkan pengakuan atau kerelaan atau tidak adanya pengingkaran.

Pasal 2:
Perbuatan dan pengakuan Nabi SAW hanya menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak haram bagi umatnya, ia hanya mubah (boleh). Kemudian, untuk mengetahui apakah hukumnya wajib, sunnah atau makruh maka harus ada dalil tersendiri yang menunjukkannya.

Sedangkan apa yang ditinggalkan beliau SAW bukanlah termasuk as-sunnah. Karena meninggalkan berarti tidak melakukan dan ini bukan hujjah atas apa pun. Adapun ketika beliau SAW meninggalkan suatu perbuatan tertentu setelah melakukannya sekali atau beberapa kali, maka itu hanya menunjukkan tidak wajibnya perbuatan tersebut. Sehingga harus ada dalil lain tersendiri yang menunjukkan perbuatan yang ditinggalkan tersebut haram, makruh atau mubah, atau bahkan sunnah (mustahab?). Ketika beliau SAW meninggalkan suatu perbuatan sebelum melakukannya (yaitu tekadnya untuk melakukan suatu perbuatan kemudian meninggalkannya sehingga tidak jadi melakukannya) tidak menunjukkan kecuali atas tidak wajibnya perbuatan tersebut, hanya itu. Jadi harus ada dalil tersendiri untuk mengetahui apakah perbuatan yang ditinggalkan tersebut haram, makruh, atau mubah atau bahkan sunnah (mustahab?).

Pasal 3:
Wahyu yang diturunkan yang maksum semuanya terjaga. Adz-Dzikr al-mahfuzh (adz-dzikr yang terjaga) sama dengan wahyu yang diturunkan yang maksum. Bukan hanya Al-Qur'an saja yang terjaga, tetapi As-Sunnah juga terjaga. Al-Qur'an terjaga dari sisi kata per kata, huruf per huruf, harakat per harakat, karena ternukil secara mutawatir. Al-Qur'an adalah yang terdapat di lembaran-lembaran mushaf Al-Qur'an. Selain itu bukanlah Al-Qur'an yang diturunkan secara mutlak, kecuali nash Al-Qur'an yang lafalnya sudah mansukh, sebagaimana tercantum dalam berbagai riwayat. Ketika itu maka ia bukanlah Al-Qur'an sehingga tidak boleh ditulis dalam mushaf Al-Qur'an.

Jumat, 16 Juli 2010

Keterkaitan Antara Konsepsi Ibadah dan Uluhiyah

Shaikh Abu Majid al-Mas`ariy

Merupakan suatu kebenaran bahwa hubungan antara pengertian ibadah –dalam pengertian ini- dengan pengertian uluhiyah tidak akan keluar dari salah satu tiga kemungkinan berikut:

1. Ilah adalah yang diyakini mempunyai sifat-sifat tertentu yang membuatnya –menurut orang yang meyakini sifat-sifat itu ada padanya- berhak mendapatkan perendahan diri, ketundukan, pengagungan dan penghormatan; atau kecintaan dan mendekatkan diri; diminta mendatangkan manfaat atau menghindarkan bahaya, dan menampakkan kefakiran dan merasa butuh, dan yang semisalnya. Dengan ini maka definisi dan konsep uluhiyah mendahului definisi ibadah.

Jadi, definisi ilah ada terlebih dahulu ada sebelum definisi ibadah. Yang pertama ada adalah definisi ilah, baru kemudian, otomatis, akibat dari itu, bahwa ibadah adalah setiap perbuatan atau ucapan yang ditujukan kepada ilah tersebut untuk mengagungkan; atau untuk menampakkan ketundukan dan perendahan diri; atau untuk mengungkapkan kefakiran dan merasa butuh dan meminta mendatangkan manfaat atau menolak bahaya; atau untuk mengungkapkan kecintaan dan meminta mendekatkan diri atau untuk semua itu.

Bismillah

Bismillahi tawakkaltu `ala Allah... Alhamdulillah, dengan tekad dan kekuatan yang telah Allah karuniakan kepada kami, akhirnya kami luncurkan web ini. Setelah semua kegelisahan dan kerinduan kami memuncak.. Kami deklarasikan MIMBAR TAJDID ini, guna menjalankan misi ISHLAHUL MAFAHIM..

*Admin