Jumat, 16 Juli 2010

Keterkaitan Antara Konsepsi Ibadah dan Uluhiyah

Shaikh Abu Majid al-Mas`ariy

Merupakan suatu kebenaran bahwa hubungan antara pengertian ibadah –dalam pengertian ini- dengan pengertian uluhiyah tidak akan keluar dari salah satu tiga kemungkinan berikut:

1. Ilah adalah yang diyakini mempunyai sifat-sifat tertentu yang membuatnya –menurut orang yang meyakini sifat-sifat itu ada padanya- berhak mendapatkan perendahan diri, ketundukan, pengagungan dan penghormatan; atau kecintaan dan mendekatkan diri; diminta mendatangkan manfaat atau menghindarkan bahaya, dan menampakkan kefakiran dan merasa butuh, dan yang semisalnya. Dengan ini maka definisi dan konsep uluhiyah mendahului definisi ibadah.

Jadi, definisi ilah ada terlebih dahulu ada sebelum definisi ibadah. Yang pertama ada adalah definisi ilah, baru kemudian, otomatis, akibat dari itu, bahwa ibadah adalah setiap perbuatan atau ucapan yang ditujukan kepada ilah tersebut untuk mengagungkan; atau untuk menampakkan ketundukan dan perendahan diri; atau untuk mengungkapkan kefakiran dan merasa butuh dan meminta mendatangkan manfaat atau menolak bahaya; atau untuk mengungkapkan kecintaan dan meminta mendekatkan diri atau untuk semua itu.


Apabila definisi tadi benar maka akan berakibat bahwasanya tidak ada perkataan, keyakinan atau perbuatan lahir ataupun batin baik berupa sujud, ruku’, berdiri, duduk, sembelihan, mempersembahkan persembahan, cinta, benci maupun pengagungan yang mungkin dianggap sebagai ibadah kecuali jika ditujukan kepada sesuatu yang diyakini berhak diibadahi karena sifat-sifat uluhiyah yang ada padanya. Maksudnya, konsep ibadah didahului oleh konsep uluhiyah dan terbangun di atasnya. Inilah pendapat yang benar yang dibangun di atas bukti dan dalil-dalil yang qath’iy sebagaimana akan dijelaskan.

2. Amalan-amalan itu merupakan ibadah itu sendiri tanpa melihat persepsi dan keyakinan pelakunya seputar sesuatu yang untuknyalah amalan itu dilakukan.

Berdasarkan pendapat inilah sehingga ada pendapat yang mengatakan bahwa hormat militer dan hormat bendera adalah perbuatan syirik kufur yang mengeluarkan dari millah karena perbuatan itu mengandung: berdiri sempurna dan puncak kekhusyu’an dengan tata cara tertentu; sampai sekalipun pelakunya meyakini bahwa atasan yang dihormati atau bendera yang dihormati hanya hamba yang merupakan makhluk yang tidak kuasa berbuat apa-apa dan tidak bisa berbuat dan bertindak kecuali dengan izin, takdir dan kehendak Allah; bahkan sekalipun pelakunya meyakini bahwa bendera yang dihormati itu hanya selembar kain yang diikat di tiang bendera yang tidak hidup, tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat.

Demikian juga orang yang berpendapat bahwa istighatsah (meminta pertolongan) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (ketika sudah wafat, penrj.) adalah syirik akbar hanya dengan sekadar melafalkannya (ucapan: Wahai Nabi Muhammad tolonglah aku, penrj.) tanpa melihat keyakinan orang yang beristighatsah tersebut. Atau orang yang berpendapat bahwa thawaf di kuburan Ahmad Al-Badawi adalah syirik kufur yang mengeluarkan dari millah hanya karena perbuatannya, yaitu hanya karena sekadar thawafnya –dari sisi perbuatannya- yang secara lahiriah menyerupai thawaf mengitari ka'bah misalnya, tanpa melihat keyakinan pelakunya.

3. Ilah adalah ma’bud (yang diibadahi) sehingga konsep uluhiyah mendahului konsep ibadah. Maksudnya adalah, bahwa konsep uluhiyah harus ada terlebih dahulu kemudian setelah itu baru menentukan definisi dan konsep ibadah. Pada saat yang sama dikatakan: bahwa ilah adalah setiap sesuatu yang diibadahi. Maksudnya adalah, ada perbuatan-perbuatan yang disebut ibadah dengan sendirinya. Apabila ibadah itu diserahkan kepada sesuatu, maka sesuatu itu –otomatis- menjadi ilah yang diibadahi. Sehingga konsep ibadah mendahului konsep uluhiyah. Dan ini adalah siklus berputar-putar. Dan ini merupakan hal yang mustahil dan batil. Yang menunjukkan kebatilan pendapat ini dalam mendefinisikan ibadah dan uluhiyah serta hubungna antara keduanya. Banyak orang yang jatuh pada kesalahan ini, bahkan ada yang dari kalangan para ulama, tanpa sadar. Pendapat ini akan banyak didapatkan di kitab-kitab dan risalah-risalah Aimmah Da’wah Najdiyyah. Pendapat ini banyak mengandung kontradiksi dan kerancuan pemahaman.

Mengenai pendapat kedua, meskipun selamat dari siklus berputar-putar dan kontradiksi internal, hanya saja pendapat ini batil dan tidak bisa diterima karena adanya bukti pasti dari nash-nash syar’i meyakinkan, yaitu dari nash Al-Qur'an dan As-Sunnah –bahkan sebelumnya dari bukti perasaan dan akal- yang membuktikan yang benar adalah yang berbeda dengan pendapat kedua ini sebagaimana yang kami jelaskan dalam Kitab Tawhid kami (Kitabut Tawhid: Ashul Islam wa Haqiqat Tawhid).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar