Kamis, 23 September 2010

Kaidah Menyelesaikan Perselisihan

Ustadz Abu Syakir

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya yang shalih sampai hari kiamat.

Banyak saudara-saudara kita yang merasa bingung ketika melihat kenyataan bahwa masing-masing orang, kelompok, jamaah, organisasi, dan harokah menganggap diri mereka paling benar. Kebingungan ini dikarenakan masing-masing pihak memiliki dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Ketika mendengarkan dan menyimak pemaparan masing-masing pihak yang berbeda dalam suatu masalah seolah-olah semuanya benar karena memang masing-masing mengemukakan argumen yang dikuatkan dengan dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.

Hal ini yang membuat masing-masing pihak tetap bersikukuh dengan pendapat yang selama ini diikutinya. Bagi yang tidak mau dipusingkan dengan klaim masing-masing pihak ia berpikir, daripada bingung, lebih baik ikut pendapat yang selama ini sudah ia anggap benar.


Bagi seorang muslim yang memahami kenyataan ini memang kalau dipikir-pikir dan ditimbang dengan kacamata Al-Qur'an dan As-Sunnah cukup menggelikan dan aneh bin ajaib. Kenapa menggelikan dan aneh??! Karena semua pasti sudah tahu apa kewajiban seorang muslim ketika berbeda pendapat dalam suatu masalah, apa saja.

Semua pihak sepakat bahwa ketika kita berbeda pendapat dalam masalah apa pun harus mengembalikan perbedaan pendapat tersebut kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagaimana Allah perintahkan dalam Al-Qur'an surat An-Nisa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ <span>فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ</span> ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian</span>. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 59)

Mengembalikan kepada Allah dan Rasulullah pasti akan menghilangkan segala perbedaan pendapat dan menyelesaikan segala perselisihan dan persengketaan. Kalau tidak, berarti perintah Allah tersebut dusta dan menyesatkan. Karena berarti Allah memerintahkan untuk mengembalikan perbedaan pendapat kepada pihak yang tidak bisa menyelesaikan perselisihan, Maha Tinggi Allah atas hal itu dengan ketinggian yang besar. Oleh karena itu harus diyakini, Al-Qur'an dan As-Sunnah pasti bisa menyelesaikan segala perbedaan pendapat dan perselisihan. Yang ragu akan hal ini hanyalah orang yang kebodohannya bertumpuk-tumpuk atau orang kafir.

Jadi, jika masing-masing pihak yang berbeda pendapat dalam suatu masalah benar-benar mengembalikan perbedaan pendapat tersebut kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah pasti akan ditemukan kesimpulan sama yang akan menghilangkan perbedaan pendapat tersebut[1]. Berikutnya, insya Allah persatuan umat Islam akan lebih mudah terwujud.

Sehingga, kalau sudah dikembalikan kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah kok ternyata belum ditemukan titik temu maka perlu diingat, ada kaidah yang harus diterapkan ketika berdalil dengan suatu ayat Al-Qur'an atau suatu hadits shahih[2] untuk membahas hukum syar’i suatu masalah.

Kaidah tersebut adalah:

1)     Menyebutkan teks secara sempurna, terutama ayat Al-Qur'an sehingga diketahui konteksnya. Jadi harus disebutkan ayat sebelum dan sesudahnya. Karena kalau tidak maka kita terjatuh dalam kejahatan ‘tahriiful kalim ‘an mawaadhi’ihi’ mengubah perkataan dari tempat-tempatnya[3]. Perbuatan ini –yaitu memahami ayat bukan dari konteksnya- merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap syariat. Dan itu adalah kejahatan yang sangat buruk yang bisa jadi sampai pada tingkatan kufur!

2)     Harus mengumpulkan semua dalil yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas dan menerapkan semuanya sesuai dengan ilmu pokok-pokok kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fikih dan kaidah menyimpulkan dalil (qowaa’id al-istinbaath). Apa yang disebutkan secara global dalam suatu dalil bisa jadi diperinci dan ditafsirkan pada dalil yang lain. Apa yang disebutkan secara umum dalam suatu dalil bisa jadi ada yang mengkhususkannya pada dalil yang lain. Apa yang disebutkan muthlaq pada suatu dalil bisa jadi dibatasi pada dalil yang lain. Bahkan bisa jadi ada yang mansukh (terhapus hukumnya) namun naasikh (yang menghapus/mengganti)-nya ada pada dalil yang lain. Semua ayat dan hadits tersebut wajib ditaati, diimani, diterapkan, dan diagungkan. Termasuk kebodohan yang buruk sekali atau kejahatan yang memalukan ketika berdalil dengan satu ayat atau hadits pada satu permasalahan atau bab padahal ada ayat atau hadits yang lainnya.
Barang siapa yang tidak komitmen dengan kaidah ini maka ia termasuk penjahat yang membagi-bagi kitab Allah “(yaitu) orang-orang yang telah menjadikan Al-Quran itu terbagi-bagi.”[4] Mereka mengambil apa yang mereka sukai dan meninggalkan apa yang tidak mereka sukai. Orang semacam ini hampir masuk ke dalam golongan orang-orang kafir, yang beriman kepada sebagian al-kitab dan kafir kepada sebagian lainnya. Sehingga ia berhak mendapatkan kehinaan dalam kehidupan dunia dan akan dikembalikan kepada siksa terpedih.

3)     Ketika berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur'an sangat dianjurkan untuk merujuk kepada kitab-kitab tafsir terpercaya, terutama yang memperhatikan dan mengumpulkan riwayat-riwayat para salaf dalam ayat yang sedang dibahas (seperti tafsir Ath-Thabariy, tafsir Ibnu Abi Hatim, kemudian tafsir Ibnu Katsir dan lainnya yang masih banyak). Apabila terdapat hadits marfu’ shahih tentang tafsir suatu ayat, sebagian ayat atau salah satu kata dalam suatu ayat maka otomatis itu menjadi hujjah kuat yang tidak boleh diabaikan.

Dengan begitu, menguasai bahasa arab adalah sesuatu yang mutlak diperlukan agar kita bisa memahami dalil-dalil yang sedang dibahas dan kitab-kitab referensi yang diperlukan karena dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta kitab-kitab referensi tersebut bahasa aslinya adalah bahasa arab. Di samping, harus menguasai atau mengetahui ilmu ushul fikih dan qawa’id istimbath al-ahkam (kiadah-kaidah menyimpulkan hukum syar'i).

Memahami dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah serta kitab-kitab referensi dari terjemahan banyak sekali kelemahannya. Sehingga, sekalipun karya-karya terjemahan yang ada tetap ada manfaatnya dalam membantu memahami suatu masalah tetapi menguasai bahasa arab adalah tetap mutlak diperlukan. Agar, keotentikan pemahaman aspek bahasa arab tetap bisa terjaga. Karena banyak kata dalam bahasa arab yang tidak bisa diterjemahkan secara harfiyah ke dalam bahasa Indonesia. Belum lagi kalau ada kata yang merupakan istilah khusus dalam suatu bidang ilmu tertentu. Yang untuk menerjemahkannya butuh kamus istilah ilmu yang bersangkutan. Intinya, bahasa arab memiliki karakteristik yang berbeda dengan bahasa Indonesia. Sehingga memahaminya pun butuh ilmu tersendiri sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh para pakar ilmu penerjemahan arab-indonesia dan indonesia-arab.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan membantu mengatasi kebingungan yang dialami banyak orang, terutama para penuntut ilmu pemula[5] dan para pencari kebenaran.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Wa akhiru da’wana anil hamdu lillahi rabbil ‘alamin.




 Footnote:

[1] Ini terutama dalam masalah-masalah ushuluddin (pokok agama) seperti masalah tauhid, syirik, iman, kufur, dan lain-lain. Adapun dalam masalah-masalah ijtihadiyah (yang dalil dalam masalah yang bersangkutan memang masih debatebel/diperdebatkan di kalangan ulama dalam keshahihan [kalau dalilnya berupa hadits] dan pemahamannya) maka harus mengedepankan akhlak dan adab dalam berbeda pendapat yang tidak sampai berpengaruh terhadap ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan –yang paling penting—harus mengedepankan husnuzhan (berbaik sangka).

[2] Kenapa di sini harus hadits shahih? Karena, berdalil dengan hadits harus dengan hadits yang sudah terbukti shahih, bukan dengan hadits dhaif (lemah). Yang bisa dijadikan dalil hukum syar'i hanya Al-Qur'an dan hadits shahih. Selain itu tidak bisa jadi dalil. Kaidah fikih dan perkataan (pendapat) ulama bukan termasuk dalil syar'i.

[3] Maksudnya: mengubah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi. (Al-Qur'an Digital)

[4] QS. Al-Hijr [15]: 91.

[5] Sekalipun penulis juga masih termasuk kategori kelas ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar