Kamis, 29 Juli 2010

Political Jihad

Oleh: Bambang Sukirno (Direktur Penerbit Jazera)

“Kita asyik dengan pertarungan militer, sukses menempa hati ikhlas, berhasil menciptakan cinta mati syahid. Tetapi, kita lalai memikirkan kekuasaan (politik). Kita tak sepenuh hati menggelutinya. Kita masih memandang bahwa politik adalah barang najis. Akhirnya, kita sukses mengubah arah angin; kemenangan dengan pengorbanan yang mahal bisa kita raih. Tetapi, menjelang babak akhir, saat kemenangan siap dipetik, musuh-musuh melepaskan tembakan ‘rahmat’ untuk menjinakkan kita.” (Tokoh Jihad Afghan-Arab)

Kalimat di atas dikutip syaikh Hazim Al-Madani dalam Hakadza Naral-Jihad (begini jihad yang kami pahami). Ia sering mendengar ungkapan itu sejak dulu kala. “Kalimat itu sangat populer di kalangan mujahidin Afghan, ada yang sepakat dan ada pula yang tidak,” demikian kenangnya. Kini, ia mulai menemukan relevansinya ketika banyak merenungkan perkembangan gerakan jihadis akhir-akhir ini. Berikut lanjutan refleksinya:

Sabtu, 24 Juli 2010

Menggugat Definisi Tauhid Rububiyah (revisi)

 Mus`ab Abdul Ghaffar


Muqaddimah

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad, keluarga, sahabat dan para pengikutnya yang setia menjalankan sunnah-sunnahnya.

Wa ba’du,

Tauhid rububiyah merupakan macam pertama dari tiga macam tauhid yang sudah dikenal luas oleh kaum muslimin. Memahaminya sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah sangat penting agar pemahaman kita terhadapnya tidak menyimpang dari pemahaman yang benar. Sehingga mengkaji definisi dan pengertiannya dengan mengkomparasikan definisi yang sudah ada dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah menjadi suatu hal yang sangat urgen. Ini untuk meyakinkan kita apakah definisi yang sudah ada sudah sesuai dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah ataukah belum.

Kajian ini merupakan salah satu bentuk usaha dalam rangka mengamalkan firman Allah Ta'ala:

Konsep Iman dalam Tinjauan Hakikat


M. Ridho [1]


Iman atau yang biasa diterjemahkan sebagai kepercayaan atau keyakinan adalah dasar/ pokok dari ajaran Islam. Agama Islam mendasarkan seluruh amal manusia (pengikutnya) pada hal ini. Seluruh perhitungan pahala dan dosa bergantung pada keimanan seseorang. Masalah Iman ini adalah masalah al-asma` wal ahkam. Bahkan menurut Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah ra., salah dalam ismul imaan tidak seperti salah dalam ismul muhdats.

Pembahasaan ini kami anggap penting karena merupakan bagian dari ushuluddin. Siapa yang lemah dalam ushul tentu akan lemah pada perkara furu` (cabang). Juga perbedaan pada perkara cabang merupakan konsekuensi dari perbedaan pada perkara ushul. Sementara itu, banyak pihak yang berkepentingan untuk mencampurbaurkan dan merancukan konsep dasar dalam Islam.

Pernyataan tentang Iman dan Kufur (yang berarti juga menjelaskan konsepnya) mengandung konsekuensi yang berat dibelakangnya. Menyatakan seseorang sebagai muslim atau sebagai kafir bisa dianggap sebagai pernyataan tempat seseorang di akhirat. Jika ini dianggap benar, itu berarti orang-orang yang tidak mempercayai kehidupan akhirat diluar pembahasan ini. Maksudnya, dia tidak berhak ikut campur dalam hal-ihwal statment ini.

Rabu, 21 Juli 2010

AJWIBAH FI HUKMI AN-NAFIR (terjemah)

(Jawaban Tentang Hukum Berangkat Jihad dan Syarat Mengkafirkan)

Shaikh Abu Abdirrahman ‘Athiyatullah Al-Libiy

Alih bahasa: Abdurrahman Al-Faqir

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Syaikhuna Al-Karim (guru kami yang mulia),
demi Allah saya mencintai Anda karena Allah

[Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Wa ahabbakallah alladzi ahbabtani fih (semoga Allah mencintaimu, Dzat yang membuatmu mencintaiku karena-Nya)]

Guru kami yang mulia, saya mempunyai beberapa problem
Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang ikhwah (ia pernah berjihad di Afghanistan setelah peristiwa 11 September) mengenai masalah pergi berjihad dan hukumnya. Saya sebutkan bahwa hukumnya fardhu ‘ain. Ia berkata, “Apakah mujahidin membutukanmu sebagai seorang pribadi?. Yang saya tahu mereka lebih membutuhkan dana daripada orang. Bahkan sebaliknya. Sepekan yang lalu saya berkomunikasi dengan salah seorang ikhwah. Ia menyebutkan baru saja selesai tadrib. Di sana sudah enam bulanan tanpa pernah turun ikut pertempuran. Ditawari ikut amaliyah istisyhadiyah tapi tidak berminat. Sampai sekarang belum pernah turun ke medan pertempuran.”
Apakah perkataannya benar?? Apabila demikian halnya, apakah hukum pergi berjihad fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Apabila perkataannya tidak benar, apakah hukumnya fardhu ‘ain? Dan apakah saya harus minta izin kepada kedua orang tua atau tidak perlu?

Senin, 19 Juli 2010

Makna Tawhid Hakimiyah

 Shaikh Abdul Mun`im Musthafa Halimah Abu Basheer

Soal : Dapatkah Anda jelaskan makna Tawhid Hakimiyyah?

Penanya: Dalam pandangan saya tawhid ini adalah bagian dari pada tawhid Uluhiyah (Pengesaan Allah dengan ibadah kepada-Nya. penj). Sebagaimana saya pernah mendengar Syekh Muhammad bin Ibrahim, Syekh Bin Baz adalah diantara orang yang tidak mengajarkan Tawhid Hakimiyah ini kepada orang banyak. Dari sana banyak diantara golongan salafy saudi yang tidak mengacuhkan istilah ini dan menganggapnya sebagai bid’ah, apakah pendapat ini benar? Kemudian bisakah Anda tunjukkan kitab apa saja yang memuat keterangan tentang dimensi tawhid ini?

Ushulul Ahkam (Pokok-pokok Hukum) dan Qowa’idul Istimbath (Kaidah-kaidah Pengambilan Kesimpulan)

Shaikh Abu Majid al-Mas`ariy

Pasal 1:

Islam terwakili dalam wahyu yang diturunkan yang maksum (al-wahyu al-munazzal al-ma’shum). Wahyu tersebut semuanya sama dalam hal kemaksuman dan kekuatannya sebagai hujah. Ia terdiri dari:
1) Al-Qur'an, yaitu kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Muhammad SAW dengan lafal dan hurufnya. Sebagaimana tertulis antara dua sampul di lembaran-lembaran mushaf, terjaga dalam hafalan di dada, dibaca oleh lisan, terekam di kaset-kaset dan alat-alat perekam lainnya, ditransfer dari beliau SAW melalui tulisan dan langsung dari lisan beliau dengan derajat penukilan mutawatir, yang melahirkan ilmu yang qath’i dan dharuri bagi seluruh manusia, muslim dan kafir. lafalnya merupakan mukjizat dan membacanya adalah ibadah.
2) As-Sunnah an-nabawiyah (sunnah nabi), yaitu sabda-sabda (termasuk isyarat), perbuatan-perbuatan, dan ketetapan-ketetapan Nabi SAW. Ia juga wahyu dari Allah SWT secara makna. Rasulullah SAW mengungkapkannya dengan kata-kata atau isyarat-isyarat beliau (isyarat-isyarat yang menggantikan posisi kata-kata). Demikian juga beliau SAW mengungkapkan dengan perbuatan beliau atau pengakuan beliau (yaitu dengan diamnya beliau terhadap suatu perkara) ketika beliau melihatnya atau informasinya sampai kepada beliau, yang diamnya tersebut menunjukkan pengakuan atau kerelaan atau tidak adanya pengingkaran.

Pasal 2:
Perbuatan dan pengakuan Nabi SAW hanya menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak haram bagi umatnya, ia hanya mubah (boleh). Kemudian, untuk mengetahui apakah hukumnya wajib, sunnah atau makruh maka harus ada dalil tersendiri yang menunjukkannya.

Sedangkan apa yang ditinggalkan beliau SAW bukanlah termasuk as-sunnah. Karena meninggalkan berarti tidak melakukan dan ini bukan hujjah atas apa pun. Adapun ketika beliau SAW meninggalkan suatu perbuatan tertentu setelah melakukannya sekali atau beberapa kali, maka itu hanya menunjukkan tidak wajibnya perbuatan tersebut. Sehingga harus ada dalil lain tersendiri yang menunjukkan perbuatan yang ditinggalkan tersebut haram, makruh atau mubah, atau bahkan sunnah (mustahab?). Ketika beliau SAW meninggalkan suatu perbuatan sebelum melakukannya (yaitu tekadnya untuk melakukan suatu perbuatan kemudian meninggalkannya sehingga tidak jadi melakukannya) tidak menunjukkan kecuali atas tidak wajibnya perbuatan tersebut, hanya itu. Jadi harus ada dalil tersendiri untuk mengetahui apakah perbuatan yang ditinggalkan tersebut haram, makruh, atau mubah atau bahkan sunnah (mustahab?).

Pasal 3:
Wahyu yang diturunkan yang maksum semuanya terjaga. Adz-Dzikr al-mahfuzh (adz-dzikr yang terjaga) sama dengan wahyu yang diturunkan yang maksum. Bukan hanya Al-Qur'an saja yang terjaga, tetapi As-Sunnah juga terjaga. Al-Qur'an terjaga dari sisi kata per kata, huruf per huruf, harakat per harakat, karena ternukil secara mutawatir. Al-Qur'an adalah yang terdapat di lembaran-lembaran mushaf Al-Qur'an. Selain itu bukanlah Al-Qur'an yang diturunkan secara mutlak, kecuali nash Al-Qur'an yang lafalnya sudah mansukh, sebagaimana tercantum dalam berbagai riwayat. Ketika itu maka ia bukanlah Al-Qur'an sehingga tidak boleh ditulis dalam mushaf Al-Qur'an.

Jumat, 16 Juli 2010

Keterkaitan Antara Konsepsi Ibadah dan Uluhiyah

Shaikh Abu Majid al-Mas`ariy

Merupakan suatu kebenaran bahwa hubungan antara pengertian ibadah –dalam pengertian ini- dengan pengertian uluhiyah tidak akan keluar dari salah satu tiga kemungkinan berikut:

1. Ilah adalah yang diyakini mempunyai sifat-sifat tertentu yang membuatnya –menurut orang yang meyakini sifat-sifat itu ada padanya- berhak mendapatkan perendahan diri, ketundukan, pengagungan dan penghormatan; atau kecintaan dan mendekatkan diri; diminta mendatangkan manfaat atau menghindarkan bahaya, dan menampakkan kefakiran dan merasa butuh, dan yang semisalnya. Dengan ini maka definisi dan konsep uluhiyah mendahului definisi ibadah.

Jadi, definisi ilah ada terlebih dahulu ada sebelum definisi ibadah. Yang pertama ada adalah definisi ilah, baru kemudian, otomatis, akibat dari itu, bahwa ibadah adalah setiap perbuatan atau ucapan yang ditujukan kepada ilah tersebut untuk mengagungkan; atau untuk menampakkan ketundukan dan perendahan diri; atau untuk mengungkapkan kefakiran dan merasa butuh dan meminta mendatangkan manfaat atau menolak bahaya; atau untuk mengungkapkan kecintaan dan meminta mendekatkan diri atau untuk semua itu.

Bismillah

Bismillahi tawakkaltu `ala Allah... Alhamdulillah, dengan tekad dan kekuatan yang telah Allah karuniakan kepada kami, akhirnya kami luncurkan web ini. Setelah semua kegelisahan dan kerinduan kami memuncak.. Kami deklarasikan MIMBAR TAJDID ini, guna menjalankan misi ISHLAHUL MAFAHIM..

*Admin