Senin, 02 Agustus 2010

KISAH TENTANG KEINDAHAN AL-QUR’AN


Ibrahim Khidir

Sejak pertama kali diturunkan, Al-Qur’an sudah menjadi pembicaraan banyak cendikiawan dan sastrawan. Para penyair Arab bingung dengan kata-kata yang terlantun dari seorang ummiy (buta huruf) yang mengaku dirinya sebagai Nabi Akhir Zaman; Muhammad bin Abdullah ini.

Banyak sebab yang menjadi motif seseorang beriman kepada Al-Qur’an dan memilih masuk Islam. Diantara sebab tersebut banyak yang berkaitan langsung dengan Al-Qur’an. Motifnya pun bermacam-macam. Setidaknya ada tiga poin yang membuat seseorang menjadi beriman kepada Al-Qur’an. Pertama, Adanya kandungan syari’at yang lengkap dan sesuai dengan segala zaman. Kedua, Adanya kabar ghaib yang terbukti kebenarannya (menjadi kenyataan). Ketiga, Adanya dasar-dasar ilmu tentang penciptaan alam dan manusia.

Ketiga hal tersebut mungkin menyebabkan orang yang mengetahuinya akan beriman kepada Al-Qur’an. Namun, bagaimana dengan kala pertama Al-Qur’an diturunkan? Bukankan belum tergambar tentang kesempuraan syari’at? Bukankah kabar ghaib belum dapat dibuktikan? Dan bukankah hanya sedikit dari pengetahuan penciptaan (manusia) yang diungkapkan Al-Qur’an? Maka, harus ada hal lain yang membuat orang-orang kafir beriman ketika sejenak saja mendengarkan lantunan ayat Al-Qur’an. Harus ada motif yang mampu memberi kesan yang mendalam saat ‘pendengaran pertama’ yang membuat seseorang langsung jatuh cinta.

Mukjizat Bahasa al-Quran
Surat yang pertama-tama kali diturunkan adalah Surat Al-‘Alaq. Surat ini mengandung 19 ayat pendek-pendek yang dari strukturnya mirip kepada bentuk syair atau kata-kata puisi penyair yang terkenal di kalangan Arab pada masa itu. Akan tetapi surat ini tersusun rapi, ayat-ayatnya mempunyai ikatan dan susunan indah berseni, baik di antara ayat-ayat dalam surat itu sendiri atau dengan ayat-ayat dalam surat lain. Bagian dari susunan kata dan maknanya padu dengan keseluruhan Al-Qur’an.

Sedangkan sajak-sajak dan kata-kata indah pada masa itu merupakan susunan ungkapan yang terpisah-pisah antara satu kumpulan ungkapan dengan yang lainnya, serta tidak mempunyai ikatan susunan yang padu baik dilihat dari struktur luar atau dalamnya. Maka apakah sama halnya dengan surat Al-‘Alaq? Jawabannya tentu saja tidak!

Ayat-ayat yang mula-mula inilah yang merupakan satu-satunya sebab yang telah menarik sejumlah kecil orang Arab untuk memeluk agama Islam[1]. Kisah tentang para pembesar Qurays yang senang mendengarkan Al-Qur’an secara sembunyi-sembunyi sudah dikenal dalam kitab Siroh dan Tarikh. Biasanya mereka mengendap-endap dimalam hari atau sesekali membuka tutup sumbat telingannya untuk sejenak mendengarkan Al-Qur’an yang menyejukkan.

Mereka mendengarkan Al-Qur’an lantas beriman tanpa dorongan lainnya. Seolah-olah jiwa mereka menemukan sesuatu yang dicari-cari dan dirindukan. Seolah-olah jiwa mereka menemukan penawar gundah dan resah yang selama ini mereka alami. Ya! Al-Qur`an memang penawar/obat (syifa), bukan hanya penawar bagi hati dan jiwa yang kering dan gersang, tetapi obat bagi penyakit fisik (sebagai jampi/ ruqyah).

Tidak sedikit yang setelah itu kemudian menjadi beriman kepada Rasulullah SAW dan menyatakan dirinya masuk Islam. Ini semata-mata didorong oleh ketertarikan jiwa mereka kepada mukjizat susunan kata-kata Al-Quran yang ajaib dan istimewa. Ada baiknya kita simak apa kata hati Al-Walid bin Mughiroh kepada Abu Jahal ketika mengomentari Al-Quran:

“Demi Allah! Tidak ada seorangpun di antara kamu yang lebih mengetahui daripada aku tentang syair, rajaz, qasidah atau syair-syair jin. Demi Allah! Sedikitpun tidak serupa apa yang diucapkannya (Al-Quran) dengan syair, rajaz atau qasidah. Demi Allah! Sungguh manis perkataannya dan indah pula susunan katanya. Sesungguhnya ia dapat menghancurkan apa yang di bawahnya dan sesungguhnya ia amat tinggi dan tidak dapat dikalahkan.”

Sayangnya, Al-Walid yang notabene seorang sastrawan ternama dan ahli syair bangsa Arab itu memperturutkan hawa nafsunya. Dia untuk mengingkari Al-Quran setelah Abu Jahal berkata: “Demi Allah! Kaummu tidak rela sehingga kamu mencacinya”

Demikian dengan Umar Ibnul Khattab yang kala itu masih membenci Islam. Ketika ia datang kepada adik dan iparnya. Dalam keadaan marah ia lantas mendengar penggalan Surah Thaha. “Alangkah indahnya kata-kata ini, dan betapa mulianya,” ungkap Umar jujur.

Inilah keajaiban Al-Qur’an. Seperti yang dialami oleh Ibnul Khattab dan Al-Walid, juga banyak dari pembesar kekufuran sepanjang masa. Tidak ada yang mengingkari ‘kesan yang mendalam’ setelah mendengarkan Al-Qur’an. Mereka yang mengerti dan jujur tentulah akan menangis. Sayyid Qutb, seorang sastrawan Mesir penulis Tafsir Fie Dzilalil Qur’an bahkan mengatakan, “Mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an akan membuat tunduk setiap diri dan akan lembutlah setiap hati.”

Sastrawan dan Al-Qur’an

Kisah-kisah tentang tangisan pembaca Al-Qur’an mungkin sudah sering kita dengar. Tapi kebanyakan kisah yang kita dengar adalah tangisan seorang ulama yang shalih atau sahabat nabi yang memang senantiasa khusuk berinteraksi dengan Al-Qur’an. Boleh jadi ini yang membuat kita berangapan wajar dan kehilangan kesan terhadap Al-Qur’an, karena mereka yang menangis adalah orang yang sudah mencintai Al-Qur’an. Padahal keindahan Al-Qur’an diakui pula oleh orang-orang kafir.

Menjadi penting disini untuk kembali mengangkat aspek sastra dan seni dalam Al-Qur’an. Keindahan, keajaiban dan mukjizat yang ada pada susunan kata-kata dan maknanya. Terkait dengan hal diatas, Sayyid Qutb menulis kitab At-Tashwir Al-Fanniy Fie Al-Qur’an. Kitab ini merupakan kajian dan analisis sastra Al-Qur’an yang sangat baik penyajiannya. Patut untuk kita baca dan patut untuk dijadikan referensi penulisan sastra.

Sebagian ilmuwan dan cendikiawan kita sudah banyak memaparkan sisi ilmiah dan hujjah-hujjah saintifik Al-Qur’an. Banyak dari kalangan ilmuwan yang akhirnya beriman kepada Al-Qur’an setelah hasil penelitian dan risetnya saling membenarkan dengan ayat Al-Qur’an. Namun dikalangan ahli sastra dan seniman muslim sangat jarang orang yang ber-iltizam dan ber-khidmat kepada Al-Qur’an dalam keahliannya. Padahal sastra adalah sarana mengagungkan Allah dan manifestasi mahabbah seorang hamba. Sastra adalah ungkapan syukur dan larik kesabaran dalam menjalani kehidupan. Singkatnya, sastra adalah ibadah!

Bagi sebagian orang, mungkin sudah cukup hanya sekedar membaca Al-Qur’an secara tartil atau tahsin. Bahkan sebagian dari kita senang menyemarakkannya dalam banyak musabaqoh laiknya paduan suara. Padahal jika kita menjiwai pesona sastra yang ada pada bacaan tersebut niscaya jiwa kita akan menjadi tenang, tentram dan senantiasa rindu untuk selalu membacanya. Demi Allah! Hal itu akan senantiasa terjadi hingga antara kita dan Al-Qur’an tidak ada hijab penghalang. Kemudian kita akan menjadi Al-Qur’an berjalan!

Sebagai penutup tulisan ini, saya ingin bertanya kepada diri saya dan pembaca sekalian. Mengutip sebuah nasyid yang sering saya dengarkan waktu SMA dulu; Adakah Al-Qur’an di dalam hati mu?[]

*Karya ini adalah bentuk apresiasi kepada Rijalul Qur’an, Sayyid Qutb rh.


[1] Dan mereka adalah as-Sabiqunal Awwalun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar