Sabtu, 24 Juli 2010

Konsep Iman dalam Tinjauan Hakikat


M. Ridho [1]


Iman atau yang biasa diterjemahkan sebagai kepercayaan atau keyakinan adalah dasar/ pokok dari ajaran Islam. Agama Islam mendasarkan seluruh amal manusia (pengikutnya) pada hal ini. Seluruh perhitungan pahala dan dosa bergantung pada keimanan seseorang. Masalah Iman ini adalah masalah al-asma` wal ahkam. Bahkan menurut Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah ra., salah dalam ismul imaan tidak seperti salah dalam ismul muhdats.

Pembahasaan ini kami anggap penting karena merupakan bagian dari ushuluddin. Siapa yang lemah dalam ushul tentu akan lemah pada perkara furu` (cabang). Juga perbedaan pada perkara cabang merupakan konsekuensi dari perbedaan pada perkara ushul. Sementara itu, banyak pihak yang berkepentingan untuk mencampurbaurkan dan merancukan konsep dasar dalam Islam.

Pernyataan tentang Iman dan Kufur (yang berarti juga menjelaskan konsepnya) mengandung konsekuensi yang berat dibelakangnya. Menyatakan seseorang sebagai muslim atau sebagai kafir bisa dianggap sebagai pernyataan tempat seseorang di akhirat. Jika ini dianggap benar, itu berarti orang-orang yang tidak mempercayai kehidupan akhirat diluar pembahasan ini. Maksudnya, dia tidak berhak ikut campur dalam hal-ihwal statment ini.

Orang-orang yang mempercayai (kebanaran) adanya Yaumul Akhir berselisih sebagaimana orang-orang yang mempercayai (kebenaran) adanya al-Kholiq. Akan tetapi Islam telah menetapkan bahwa kebenaran hanya ada pada orang yang beriman kepada aLLoH dan beriman kepada Yaumul Akhir; al-Imaanu biLLaH wal-Yaumil Akhir. Mereka sepakat dalam i`tiqod akan tetapi sering berbeda dalam praktek. Diantara mereka ada yang dijamin keselamatannya dari siksa an-Naar, meski seluruhnya punya hak untuk memasuki al-Jannah. RosuluLLoH menyebut (laqob) mereka sebagai Al-Firqoh An-Najiyah, yang maa ana alayhi wa ashaby (bersama sunnah Nabi dan sunnah sahabatnya).

Definisi dan Batasan
Perbedaan dan perdebatan tentang konsep Iman sudah bermulai sejak abad-abad awal sejarah peradaban Islam. Kenyataan ini menyebabkan umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan. Masalah Iman adalah salahsatu penyebab utamanya. Awalnya perdebatan ini hanya seputar masalah al-kabair (dosa besar) – apakah ia membuat kafir (mukaffiroh) atau tidak. Perbedaan yang ada belakangan ini tidak berarti tidak adanya kejelasan konsep Iman dalam Islam. Karena para zaman para shahabah ridlwanaLLoHu ajma`in tidak ada perdebatan semacam ini.

Konsep yang baik dan sempurna adalah konsep yang memuat pernyataan jami` (komprehensif) dan mani` (protektif). Jami` berarti mencakup keseluruhan hal yang ada pada konsep tersebut. Mani` berarti membatasi/ menghalangi dari hal yang tidak dicakup oleh konsep tersebut.

Diantara pendapat tentang Iman adalah pernyataan bahwa Iman adalah tasdiqul qolb (pembenaran hati). Sebagiannya menjadikan amal sebagai penyempurna, sebagian menganggapnya sebagai konsekuensi logis Kemudian juga ada yang pendapat bahwa Iman itu “satu” dan “sempurna”. Ketika ia hilang sebagiannya maka hilang seluruhnya.

Penerapan jami` dan mani` dalam masalah ini pun menjadi samar. Anggapan bahwa Iman tempatnya di hati memiliki asumsi bahwa seseorang bisa saja beriman meski amalnya tidak menunjukan hal itu. Sementara yang berpendapat Iman itu “satu” memiliki asumsi bahwa amal yang tidak sesuai dengan Iman adalah kedustaan (kazb), sedangkan kazb bertentangan dengan Iman. Asumsi-asumsi ini bolehjadi mengacu pada dalil-dalil ayat al-Qur`an, akan tetapi belum tentu bersandar pada kerangka berpikir yang shohih.

Pengertian Iman dan Hakikatnya
Pendapat yang raajih adalah bahwasanya Iman itu perkataan/ucapan (qoul) dan perbuatan (amal), bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu). Berkata Ibnu Hajar rahimahuLLoH dalam Fathul Bari: “Al Lalikai meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Al Bukhari beliau berkata: saya bertemu lebih dari seribu lelaki dari para ulama di kota-kota, maka saya tidak melihat seorang pun dari mereka yang menyelisihi bahwasanya iman adalah ucapan dan perbuatan, dan bertambah dan berkurang.”
Penjelasan ringkas:
§         Yang dimaksud qaul (perkataan) yaitu: perkataan hati dan perkataan lisan (badan).
§         Yang dimaksud amal (perbuatan) yaitu: perbuatan hati dan anggota badan.
§         Adapun yang dimaksud perkataan hati yaitu ma’rifah-nya dan tashdiq-nya yang sebenarnya yang bangkit di atas ketaatan dan kepatuhan.
§         Adapun perkataan lisan yaitu mengikrarkan syahadatain. (juga ucapan lainnya)
§         Adapun perbuatan hati yaitu ibadah-ibadah hati seperti ikhlas, khasyyah (takut), mahabbah (cinta), taslim (menyerah) dan sebagainya.
§         Adapun perbuatan al jawarih (anggota badan) yaitu: menuruti perintah-perintah dan larangan-larangan syari'at.
§         Adapun yang dimaksud bertambah (yaziidu) dan berkurang (yanqushu) yaitu: bertambah dengan ketaatan-ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan-kemaksiatan sampai tidak tersisa sedikitpun. [Lihat: Al Jami’]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahuLLoH merangkum ucapan-ucapan tentang pengertian Iman dan hakikatnya yang termasuk katagori Ahlussunnah.
Beliau berkata: Dan dari ucapan-ucapan salaf dan imam-imam sunnah dalam menafsirkan iman maka kadang kala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan, dan kadangkala mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dan kadangkala mereka mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat dan mengikuti sunnah, dan kadangkala mengatakan: ucapan dengan lisan, dan keyakinan dengan hati, dan perbuatan dengan anggota badan. Dan semuanya ini benar – sehingga kata-katanya – bagi salaf yang mengatakan: iman adalah ucapan dan perbuatan hati dan anggota badan, maksudnya ucapan hati dan lisan dan perbuatan hati dan anggota badan. Dan bagi yang menggunakan lafadz “I’tiqad” (keyakinan), mereka berpendapat bahwa lafadz qaul (ucapan) tidak bisa dipahami darinya selain ucapan yang lahir (ucapan lisan) atau mereka khawatir yang demikian itu maka mereka tambah i’tiqad (keyakinan) dengan hati.
Adapun yang mengatakan: ucapan dan perbuatan dan niat, dia berkata: bahwa ucapan mengandungi keyakinan dan ucapan lisan, dan adapun perbuatan kadangkala tidak dipahami darinya niat, lalu ditambahkan niat di situ. Dan adapun yang menambahkan ittiba’us sunnah (mengikuti sunnah) karena seluruhnya itu tidak akan dicintai Allah kecuali dengan mengikuti sunnah. Dan mereka tidak bermaksud segala ucapan dan perbuatan, maksud mereka hanyalah ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatan yang masyri’ (disyari’atkan). Akan tetapi maksud mereka adalah menyanggah terhadap Murji`ah yang menjadikan iman hanya ucapan saja, maka mereka berkata: bahkan ucapan dan perbuatan. (Majmu'ul Fatawa 7/170-171)

Martabat Iman
Kaitan antara kesempurnaan Iman, naik-turunnya Iman atau pernyataan bahwa Iman itu “satu” maka perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan martabat (tingkatan) Iman.
Apabila disebut lafadz “Iman” berarti maksudnya addien (agama) secara keseluruhannya, ia merangkumi cabang-cabang sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
Artinya: Iman adalah tujuh puluh atau enam puluh cabang, maka yang paling utamanya adalah ucapan “Laa ilaaha ila aLLoh” dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan duri dari jalan, dan malu adalah cabang dari iman. [H.R. Muslim]
Maka Iman adalah mengandungi seluruh ketaatan yang fardhu dan yang sunnah dari segala yang diwajibkan atas hati, lisan dan anggota badan. Begitu juga Iman merangkumi atas meninggalkan perkara-perkara yang dilarang, yang haram, dan yang makruh.
Iman dibagi menjadi tiga tingkatan, yang mana masing-masing tingkatan mengandungi sebagian cabang-cabang iman, dan secara teratur cabang-cabang iman itu menduduki masing-masing tingkatannya yang bersesuaian.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata tentang iman: ia adalah tersusun dari yang ashl (dasar), ia tidak sempurna tanpa dengannya, dan dari yang wajib, ia berkurang dengan hilangnya dengan suatu kekurangan yang pelakunya berhak mendapatkan hukuman (siksa), dan dari yang mustahab akan hilang dengan hilangnya ketinggian derajatnya (Majmu'ul Fatawa 7/637).
            Lebih sederhana lagi, Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz menyatakan: Iman itu memiliki dua bentuk. Sebagian ada yang fardu`ain (yaitu yang bersifat global), dan sebagain lagi bersifat fardhu kifayah (yaitu yang bersifat terperinci), sebagai hasil (buah) dari menuntut ilmu.

Khatimah
            Demikianlah kedudukan (mawqif) Iman dalam hakikatnya, adapun secara hukum (syari`ah) hanya berlaku pada apa-apa yang dzohir. “Nahnu Hukmi bi dzawahir, wa aLLoHi bi syaroir”, kita menghukumi apa yang nampak, dan yang selain itu adalah wewenang aLLoH. ALLoH Ta'ala membedakan antara Iman Hakiki dan Iman Hukmi, sebagaimana firman-Nya dalam banyak tempat di Al-Qur`an dan Al-Hadits.  WaaLLoHu a`lam


Maroji`
·         Lajnah Ilmiyah HASMI, Iman menurut Ahlussunnah. – Bogor: HASMI, 2002
·         Majalah As-Silmi, Badai Murji`ah Menimpa Ahlussunnah dan Ahlulhadits. – edisi 18 Tahun 2007.
·         Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz, Mendudukan Aqidah dan Jihad (e-Book)
·         Syeikh Abdul Qodir Abdul Aziz, Kafir Tanpa Sadar (Seri Terjemah Al-Jami Fie Tholabil `Ilmi Syarief) . –  Solo: Islamika, 2006.



[1] Pegiat dan pendiri Komunitas Nuun, Universitas Indonesia. Paper ini disampaikan pada Diskusi Pekanan Komunitas Nuun. Jum`at, 27 Shafar 1428 H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar