Rabu, 21 Juli 2010

AJWIBAH FI HUKMI AN-NAFIR (terjemah)

(Jawaban Tentang Hukum Berangkat Jihad dan Syarat Mengkafirkan)

Shaikh Abu Abdirrahman ‘Athiyatullah Al-Libiy

Alih bahasa: Abdurrahman Al-Faqir

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Syaikhuna Al-Karim (guru kami yang mulia),
demi Allah saya mencintai Anda karena Allah

[Wa ‘alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Wa ahabbakallah alladzi ahbabtani fih (semoga Allah mencintaimu, Dzat yang membuatmu mencintaiku karena-Nya)]

Guru kami yang mulia, saya mempunyai beberapa problem
Saya pernah berdiskusi dengan salah seorang ikhwah (ia pernah berjihad di Afghanistan setelah peristiwa 11 September) mengenai masalah pergi berjihad dan hukumnya. Saya sebutkan bahwa hukumnya fardhu ‘ain. Ia berkata, “Apakah mujahidin membutukanmu sebagai seorang pribadi?. Yang saya tahu mereka lebih membutuhkan dana daripada orang. Bahkan sebaliknya. Sepekan yang lalu saya berkomunikasi dengan salah seorang ikhwah. Ia menyebutkan baru saja selesai tadrib. Di sana sudah enam bulanan tanpa pernah turun ikut pertempuran. Ditawari ikut amaliyah istisyhadiyah tapi tidak berminat. Sampai sekarang belum pernah turun ke medan pertempuran.”
Apakah perkataannya benar?? Apabila demikian halnya, apakah hukum pergi berjihad fardhu ‘ain atau fardhu kifayah?
Apabila perkataannya tidak benar, apakah hukumnya fardhu ‘ain? Dan apakah saya harus minta izin kepada kedua orang tua atau tidak perlu?


Jawab:
[Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga, para sahabatm dan orang-orang yang mengikutinya.
Wa ba’du,

Ya, pada fase ini (saya tegaskan “pada fase ini”, karena bisa jadi ini berubah pada fase yang lain), mujahidin di Afghanistan dan Pakistan tidak membutuhkan mujahid muqatil dalam jumlah besar.

Alhamdulillah, jumlah mujahid muqatil yang ada dari kalangan muhajirin dan anshar (penduduk setempat) banyak sekali. Tetapi, ini disebabkan kemampuan medan dan sistem jihadnya (jamaah-jamaah jihad yang eksis di sana) yang bisa menyerap orang-orang dari sisi mempersenjatai, memberikan pelatihan, pengajaran, pemahaman agama, dan peningkatan kualitas mereka secara psikologis dan kesadaran, ... dst. Bahkan daya serap mereka dari sisi: pemberian tempat tinggal, jaminan hidup dalam arti biaya makan, minum, minum, dst.

Mujahidini Imarah Islam Afghanistan (Taliban), Al-Qaida, atau organisasi jihad lainnya tidak memiliki kemapuan menyerap dalam jumlah yang banyak sekali. Oleh karena sebab ini, yaitu tidak adanya kemampuan finansial dan yang serupa, dan sampai masalah kemampuan berkaitan dengan kondisi geografis. Oleh karena itu kami memandang, kita sedang ada di fase seleksi dan pemilihan. Maka kami ajak kader-kader khusus (spesialis) yang pertama kali dibutuhkan jihad. Kemudian, muqatil biasa sesuai kebutuhan berdasarkan keputusan yang diambil para komandan dan pemimpinnya.

Kami menerima personal sedikit demi sedikit dan dengan adanya pemilihan dan rekomendasi. Di tangan Allahlah segala taufik.

Ini sehubungan dengan medan kami di sini. Sementara, medan-medan yang lain, masing-masing menyesuaikan situasi dan kondisi. Bisa jadi ada medan yang membutuhkan banyak personal sedangkan di saat yang sama ada medan lain yang tidak memerlukannya. Demikian seterusnya.

Namun, apakah ini menjadikan kita berpendapat bahwa jihad sekarang ini fardhu kifayah? Menurut pendapatku, pendapat ini tidak tepat. Dan saya tidak bisa berpendapat secara mutlak bahwa sekarang jihad fardhu kifayah. Karena kecukupan tidak terwujud dalam kenyataan. Karena, makna kifayah, sebagaimana dijelaskan ulama, terusirnya musuh, atau terpenuhinya jumlah yang dengannya musuh menjadi terusir dan ini sebenarnya juga belum terwujud. Kecukupan kami yang saya bicarakan ini kembali kepada ketidakmampuan kita menyerap personal dalam jumlah besar. Faktor ini sebab terbesarnya adalah kesalahan orang-orang kaya dalam umat ini dan kesalahan orang-orang yang mempunyai kapasitas ilmu, para pemimpin dan kader-kader pilihan yang telah beri banyak keahlian. Kalau tidak demikian, silakan beri saya dana dan kader-kader pilihan, maka akan Anda lihat front-front dan kamp-kamp pelatihan yang akan kami buka untuk mereka dan Anda akan melihat apa yang akan kami perbuat terhadap musuh-musuh Allah, tentunya dengan pertolongan Allah. Wallahul musta’aan wa hasbunallah wa ni’mal wakiil (Allahlah tempat meminta pertolongan dan cukuplah Allah penolong kami dan Dialah sebaik-baik penolong).
Kemudian, karena kecukupan ini bersifat sementara maka aku katakan kepada Anda, sekarang ini kami tidak membutuhkan banyak personal. Namun, suatu hari nanti bisa jadi saya akan menyerukan dan mengatakan, “Marilah ke sini wahai para pemuda Islam, kami membutuhkan muqatil sebanyak-banyaknya. Karena ini adalah perang. Perang akan memakan banyak korban. Dan Allahlah Yang Maha Melindungi.
Demikian juga front-front, ia akan dibuka tergantung kemampuan dan hikmah serta kepentingan (maslahat). Ini harus diperhatikan.
Kemudian hal lain yang perlu saya ingatkan, saya membatasi dengan medan kita dan medan-medan yang serupa, namun bagaimana dengan negeri-negeri Islam, bahkan seluruh dunia? Pertama (negeri Islam). tidak diragukan lagi bahwa banyak negeri kaum muslimin sedang dijajah dan dikuasai oleh orang-orang kafir dan sebagianya sudah berlangsung berabad-abad. Wallahul musta’aan. Dari mulai Andalusia di sebelah barat, pesisir Eropa Selatan, Asia Tengah, Semenanjung Balkan, Kaukasus dan sekitarnya, sampai Turkistan Selatan di Cina, sampai banyak negara Asia Tenggara, Singapura, Philipina, Thailand, dan lain-lain. Bahkan India atau sebagian besarnya dan negara-negara lainnya. Semua negeri-negeri tersebut dulunya pernah menjadi negeri Islam dan negara Islam. Namun kemudian dirampas musuh. Maka wajib atas kaum muslimin mengembalikannya dan membebaskannya dari tangan orang-orang kafir murtad yang berasal dari bangsa kita sendiri. Wajib berperangi dan berjihad melawan mereka. Setiap orang yang mampu wajib melaksanakannya. Secara syar’i, hukum asalnya, memerangi mereka lebih didahulukan daripada menyerang orang-orang kafir asli di negara-negara mereka. Adapun ketika sekarang lebih memprioritaskan memerangi orang-orang kafir asli (Amerika dan sekutunya) karena ada faktor yang mengharuskan demikian. Lalu siapa yang berjihad melawan mereka? Dan bagaimana kami katakan jihad hukumnya fardhu kifayah?! Kalau kami demikian sungguh kami orang-orang yang terlalu berani!
Yang kedua yaitu ucapanku: bahkan seluruh dunia. Karena seluruh dunia menunggu-nunggu kita untuk menaklukkannya dengan Islam dengan cara memerangi negara-negara kafir dan menaklukkannya sehingga tidak ada satu pun fitnah dan seluruh dien hanya milik Allah dan sehingga kekafiran tidak memiliki kekuasaan perkasa yang menghalangi manusia dari Islam.
Pada asalnya ini hukumnya fardhu kifayah atas umat Islam. Namun bisa Anda lihat, ia disia-siakan dan tidak yang melksanakannya. Jadi, semuanya terncam mendapat sanksi kecuali orang yang menyampaikan udzur kepada Allah dengan mengamlkan apa yang mampu dilakukannya.
Mungkin bisa kami tambah kewajiban-kewajiban yang lain, seperti membebaskan tawanan. Ini adalah fardhu kifayah atas umat ini dengan segala jalan yang disyariatkan. Dari mulai dengan menebus mereka dengan harta atau membebaskan dengan jalan kekuatan, perang dan senajata, atau dengan spionase dan tipu daya.
Wajibnya menegakkan khalifah kaum muslimin dan daulah Islam yang sebisa mungkin menyatukan semua elemen umat Islam. dan kewajiban-kewajiban lainnya.
Oleh karena itu, kami katakan, penjelasan makna jihad fardhu ‘ain atas kita sekarang ini adalah bahwasanya wajib atas setiap muslim melaksanakannya menurut kesanggupannya dan sesuai dengan kondisinya serta menurut apa yang wajib baginya.
Ringkasnya, sebagaimana sering saya katakan, adalah kalimat Syaikh Abdullah Azzam Rahimahullah dalam kitab “Ilhaq bil Qafilah”: Barang siapa yang bergabung d kafilah jihad dan mujahidin dengan mengorbankan dirinya dan mempersiapkan diri, lisan perbuatannya mengatakan, sebelum lisannya, inilah saya salah satu panah kaum muslimin silakan para pemimpin kaum muslimin lemparkan aku semau kalian. Maka dikatakan kepadanya: wahai fulan Anda pergi ke tempat ini, Anda pergilah ke Chechnya, karena mereka membutuhkan orang seperti Anda dan karena pergi ke sana bagi Anda mudah, misalnya. Anda wahai fulan pergilah ke tempat itu, dan Anda tetaplah tinggal di tempatmu, bekerjalah di bidang ekonomi, finansial, bisnis, tulis menulis, berceramah, dakwah, dan media atau menuntut ilmu, Anda wahai fulan Anda harus begini .... Barang siapa yang memungkinkan berhubungan dengan para komandan jihad sehingga ia bisa menjelaskan kepadanya apa yang sesuai dan wajib baginya dengan tulus, jujur dan ikhlas, ini sudah jelas (tidak perlu dibahas). Dan barang siapa yang tidak mampu, padahal ini kebanyakannya, maka orang semacam ini hendaknya berjalan sesuai dengan strategi umum yang sudah dikenal, mencurahkan kerja kerasnya menurut kesanggupannya, bertakwa kepada Allah, bermusyawarah dengan ulama dan mujahid yang bagus dan amanah dalam dien dan ilmunya. Semoga Allah memberinya taufik dan petunjuk. Dengan itu, ia telah menunaikan kewajibannya dan terlepas dari kewajiban insya Allah. Allah menerima amalan orang-orang bertakwa. Oleh karena itu, pendapat yang benar, jihad pada hari ini tidak wajib minta izin kepada kedua orang tua. Wallahu A’lam. Wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.
Adapun ikhwan yang disinggung dalam pertanyaan yang menunggu enam bulan atau lebih atau kurang sebelum ada kesempatan ikut operasi militer, ini sudah biasa terjadi. Karena hal ini tergantung musim saat itu atau tergantung banyak faktor lainnya. Hidup di Afganistan tidak berarti seluruhn wilayahnya selalu ada operasi militer yang pasti ada pembunuhan dan penyembelihan musuh-musuh Allaha. Tetapi hidup di sana adalah hidup dengan kehidupan yang lengkap. Ada pelatihan (tadrib). Ada perang, yang ini tergantung waktu dan kesempatannya serta tergantung kelayakan seseorang yang dibutuhkan di dalamnya. Ada pekerjaan-pekerjaan lain yang melengkapi jihad dan yang mesti ada, seperti pekerjaan-pekerjaan berkaitan dengan persiapan logistik, administrasi, dan bidang-bidang lainnya. Namun biasanya, setiap orang diberi kesempatan untuk ikut serta dalam perang. Cuma ada yang jarang, ada yang sering. Bahkan harus diberi kesempatan ikut serta. Hanya saja terkadang perlu sedikit kesabaran. Dan, di tangan Allah semata taufik kepada setiap orang.
Apabila ia datang ke medan jihad, hendaknya ia memahami hal ini dan mempersiapkan dirinya untuk siap bersabar dan menunggu serta siap ditempatkan di mana saja ia diperintahkan. Jangan sekali-sekali terburu-buru. Karena, seluruh kehidupan dalam jihad adalah penuh dengan kebaikan, berkah, pahala, dan berlimpah amal shalih.
Ikhwah di Tanzhim Qa’idatul Jihad (Al-Qaida) memiliki panduan yang mereka berikan kepada ikhwah yang ingin berangkat berjihad. Ia harus membacanya sebelum berangkat. Di dalamnya terdapat peringatan terhadap banyak hal dan penjelasan terhadap banyak hal yang penting untuk dipahami. Kami berpandangan, sebelum berangkat, itu sangat penting untuk dicari dan dibaca. Mungkin Anda bisa minta kepada ikhwah di GIMF (Global Islamic Media Front/Al-Jabhah Al-I’lamiyyah Al-Islamiyyah Al-‘Aalamiyyah). Aku memohon semoga Allah memberikan hidayah, bimbingan dan pertolongan kepadaku, Anda, dan semua ikhwah kita tercinta.]

Pertanyaan:

Apa yang lebih utama bagi seseorang, menuntut ilmu –sementara ia baru meniti jalan menuntut ilmu, tetapi kemudian ia menemukan jalan untuk berjihad-, apakah ia berangkat jihad atau meneruskan menuntut ilmu sampai menguasai banyak ilmu baru kemudian berangkat jihad?? Juga, kitab apa yang Anda nasehatkan untuk menjadi bekal iman seorang mujahid?

Jawab:
[Masalah ini berbeda antara satu orang dengan yang lain dan antara satu kondisi dengan kondisi yang lain. Tidak bisa dijawab dengan satu jawaban (digebuk rata) untuk semua orang dan untuk semua kondisi. Hendaknya ia meminta saran kepada orang yang ia percaya dari kalangan ahli ilmu (ulama) dan orang-orang yang bisa memberinya masukan dan nasehat, yang mereka benar-benar orang-orang terpercaya dan amanah. Setelah itu, bertawakkal kepada Allah.
Namun secara global, untuk membantu Anda dalam bersikap: Apabila penuntut ilmu ini termasuk orang yang cerdas dan diharapkan menjadi ulama dan tidak khawatir atas dirinya berubah menjadi buruk, wal ‘iyyaudzubillaah, maka sebaiknya ia meneruskan belajarnya sambil berniat berangkat berjihad kapan saja ia benar-benar wajib baginya. Niat ini adalah syarat. Tanpanya kewajiban belum terlepas darinya. Kaidahnya, seandainya sudah jelas bahwa berangkat jihad benar-benar secara syar’i wajib baginya sekarang maka ia harus langsung berangkat dan meninggalkan belajar dan segala sesuatu.
Adapun kitab-kitab yang saya nasehatkan untuk dijadikan bekal iman seorang mujahid, di antaranya adalah Masyari’ul Asywaaq (Ibnu An-Nuhaas), risalah Kasyfu Syubuhaatil Mukhadzilin ‘Anil Jihad (Harits Al-Mishri) ini bisa didapatkan di Maktabah Syamilah Elektronik. Al-Wabil Ash-Shayyib minal Kalim Ath-Thayyib dan Al-Jawab Al-Kafiy Liman Sa-ala ‘Anid Dawaa’ Asy-Syaafiiy (keduanya karya Ibnul Qayyim), kitab Hushununa Muhaddadah Min Dakhiliha (Muhammad Muhammad Husain), dan kitab-kitab bagus lainnya masih banyak. Walhamdu lillah. Wallahul Muwaffiq.]

Pertanyaan:
Ada beberapa syarat dan penghalang yang diberikan ulama untuk menerapkan takfir mu’ayyan, apakah syarat-syarat ini harus terpenuhi dan ketidakadaan penghalang-penghalangnya dengan menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan atau cukup dengan melihat kondisinya secara umum? Misalnya di negeri dua tanah suci (Kerajaan Saudi Arabia) ada orang-orang yang melecehkan agama di siaran televisi. Mereka sudah belajar tauhid dan tahu bahwa melecehkan agama merupakan kekafiran. Saya kira mereka tahu hukumnya. Apakah mereka dihukumi berdasarkan kondisi umum mereka atau harus mengetahuinya dengan tatsabbut (tabayyun/klarifikasi)?

Jawab:
[Orang tertentu tidak boleh dihukumi kafir kecuali kita tahu adanya syarat-syarat berlakunya hukum kafir kepadanya dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Ini diketahui oleh para ulama. Kalau orang awam dan orang yang tidak berilmu, mereka dilarang tenggelam membahas pengkafiran seseorang yang pengkafiran terhadap mereka perlu ijtihad dan istidlal. Karena itu pekerjaan para ulama. Adapun orang awam yang tidak berilmu berkewajiban mengatakan: “Saya tidak tahu, bertanyalah kepada para ulama.” Di samping ia wajib beriman secara global kepada Allah Ta’ala, dien-Nya, para rasul-Nya, ... dst dan kufur (ingkar) secara global kepada thaghut. Memang ada kekafiran orang-orang kafir yang sama-sama diketahui orang awam dan ulama, seperti kekafiran orang-orang kafir asli yang mereka sama sekali tidak mengaku Islam. dan seperti orang yang terang-terangan murtad yang mengumumkan diri keluar dari Islam dan pindah darinya, wal ‘iyyaadzubillaah, dan yang semacamnya. Termasuk juga, orang yang mencela Allah Ta'ala, Rasul-Nya, dan dien-Nya; dan orang yang memperolok-olok (melecehkan) Allah Ta'ala, dien-Nya, ayat-ayat-Nya, dan Rasul-Nya, namun dengan syarat, celaan dan pelecehannya sangat jelas tidak diperselisihkan. Adapun kalau masih multi interpretasi, dari sisi masih diperselisihkan apakah itu termasuk celaan dan pelecehan ataukah bukan, maka itu tugas para ulama. Secara global, berhatihati dalam masalah ini sangat penting, bahkan wajib. Kalau tidak, maka manusia akan binasa. Kami memohon kepada Allah keselamatan dan al-‘afiyah (dilindungi dari segala yang tidak kita sukai). Masalah ini adalah masalah berbahaya yang para ulama terus memberikan peringatan agar berhati-hati dan menjauhi tenggelam membahasnya tanpa ada alasan yang benar atau tanpa ada faktor pendorong yang kuat. Atas dasar penjelasan tersebut, orang-orang yang Anda tanyakan, mereka ada Saudi dan memperolok-olok agama di acara serial televisi, maka jawabannya dikembalikan kepada ulama yang mengetahui kondisi mereka. Hanya di tangan Allahlah segala taufik dan semoga Allah membalas Anda kebaikan dan memberi Anda taufik kepada setiap kebaikan dan kepada jihad di jalan-Nya di atas petunjuk dan takwa dari Allah. Semoga Allah mengokohkan saya dan Anda di atas jalan yang lurus. Semoga Allah memberi rizki kepadaku dan Anda mati syahid di jalan-Nya dalam keadaan menyambutnya bukan lari darinya, serta dalam keadaan yakin, jujur, dan bersih. Walhamdulillaahi rabbil ‘alamin. Wa shallallahu ‘ala Muhammad wa Aalihi wa shahbihi ajma’in.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Akhuka ‘Athiyatullah Abu Abdirrahman
Pertengahan bulan Jumadal Ula tahun 1431 H.

sumber: http://al-tawbah.com/f/showthread.php?t=5815

Tidak ada komentar:

Posting Komentar