Jumat, 03 Desember 2010

Bagaimana Bermuamalah dengan Orang-orang Kafir

Tafsir ayat 8 surat Al-Mumtahanah dari Adhwaul Bayan karya Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi

Firman Allah Ta'ala,

{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ} [الممتحنة: 8] {إِنَّما يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ} [الممتحنة: 9]

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8-9)

Sebagian ahli tafsir menganggap ayat pertama rukhshah di awal surat. Namun dalam dua ayat ini menjelaskan dua golongan musuh dan cara bermuamalah dengan keduanya.

Golongan pertama, musuh yang tidak memerangi kaum muslimin karena persoalan dien dan tidak mengusir mereka dari negerinya. Untuk golongan pertama ini Allah Ta'ala berfirman,
{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ}
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

Golongan kedua, musuh yang memerangi kaum muslimin, mengusir dari negerinya dan membantu dalam proses pengusiran mereka. Untuk golongan ini Allah Ta'ala berfirman,
{إِنَّما يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ}
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8-9)
Jadi ada dua golongan musuh yang berbeda dan dua hukum yang berbeda pula. Sekalipun dua golongan tersebut tidak keluar dari keumuman kata {عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ} yang disebut di awal surat.

Sebagian ahli tafsir menganggap ayat pertama sebagai rukhshah (keringanan) setelah adanya larangan di awal surat. Kemudian dinaskh dengan ayatus saif (ayat pedang, ayat 5 surat At-Taubah) atau ayat lainnya (penjelasannya kemudian). Sedangkan ayat kedua dianggap sebagai penegas larangan yang pertama (di awal surat).
Sebagian ahli tafsir (mufassirin) membantah klaim naskh pada ayat pertama (ayat 8). Sementara itu, mereka berselisih pendapat, kepada siapa ayat itu turun dan siapa yang dimaksud olehnya. Pada kenyataannya, dua ayat tersebut menggolongkan musuh yang masih bersifat umum sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta'ala,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ} [60/1]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 1)

Di samping, menjelaskan masing-masing golongan dan status hukumnya sebagaimana ditunjukkan oleh keterangan yang ada pada ayat pertama (di awal surat) dan keterangan yang ada pada dua ayat ini. Insya Allah penjelasannya kemudian.

Musuh ada dua golongan:
  1. Musalim, yaitu orang kafir yang tidak memerangi dan tidak mengusir kaum muslimin dari negerinya. Allah tidak melarang kaum muslimin berbuat kebajikan dan adil kepada mereka.
  2. Ghairu musalim, yaitu orang kafir yang memerangi, mengusir serta membantu proses pengusiran kaum muslimin dari negerinya. Maka, Allah melarang kaum muslimin bermuwalah (menyerahkan loyalitas) kepada mereka. Dan, membedakan antara bolehnya berbuat kebajikan serta berlaku adil dan antara melarang bermuwalah serta bermawaddah (berkasih sayang) kepada mereka.
Yang menguatkan pembagian ini adalah keterangan yang ada pada ayat pertama (awal surat), yaitu keumuman sifat kufur dan kekhususan sifat mengusir Rasulullah serta kalian (kaum muslimin).  Sudah tentu, pengusiran Rasulullah SAW dan kaum muslimin dari negerinya adalah bentuk sikap memerangi dan mengganggu dari mereka. Golongan ini (yang mengusir) yang dilarang untuk diberi muwalah karena sikapnya yang memusuhi. Karena, permusuhan bertentangan dengan sikap muwalah. Oleh karena itu Allah memberikan catatan dengan firman-Nya:
{وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 9)

Apakah ada kezaliman yang lebih besar daripada sikap muwalah seorang individu kepada musuh-musuh umatnya dan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya.

Adapun golongan orang kafir yang umum, yaitu mereka yang kafir kepada kebenaran yang datang kepada mereka namun tidak memusuhi kaum muslimin karena diennya baik dengan bentuk tidak memerangi, tidak mengusir, tidak bekerja sama dengan orang lain dalam memerangi kaum muslimin, maupun dengan tidak membantu proses pengusiran kaum muslimin; mereka dari satu sisi bukanlah tempat untuk bermuwalah karena kekafiran mereka dan tidak ada pada mereka yang menghalangi untuk diperlakukan dengan baik dan adil.

Atas dasar pemahaman ini maka ayat kedua (ayat 9) tidak mengandung pembahasan baru karena ia membahas apa yang dibahas pada awal surat.
Pada ayat pertama (ayat 8) tersisa pembahasan dua masalah. Pertama, siapa yang dimaksud dalam ayat tersebut. Kedua, penjelasan status hukumnya apakah ia ayat muhkam ataukah sudah dinaskh.
Para ahli tafsir berbeda pendapat dalam dua perkara tersebut (pertama dan kedua). Karena urgensinya pembahasan ini dan mendesaknya kebutuhan umat terhadapnya di setiap waktu. Terutama di masa kini karena bercampurbaurnya kemaslahatan duniawi, begitu dalamnya irisan kepentingan masing-masing pihak serta eratnya keterikatan sebagian pihak dengan sebagian yang lain dalam seluruh bidang kehidupan dan tidak bisa lepasnya ketergantungan antara satu negara dari negara lainnya yang semakin menambah wajib untuk memperhatikan masalah ini.
Saya meminta pertolongan kepada Allah untuk menampilkan pendapat-pendapat yang ada kemudian menyampaikan pendapat yang bisa diambil dari keseluruhan pendapat para ahli tafsir dan dari perkataan Syaikh Syinqithi rahimahullah.

Pendapat pertama, ayat 8 mansukh. Al-Qurthubi meriwayatkan dari Abu Zaid bahwa ayat 8 berlaku di awal Islam, zaman muwada’ah, dan belum ada perintah perang. Kemudian ayat itu dinaskh. Ada yang berpendapat ayat 8 dinaskh dengan ayat:
{فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ} [9/5]
“maka bunuhlah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS. At-Taubah [9]: 5)
Ini pendapat Qatadah.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat 8 berlaku untuk orang kafir yang terikat perjanjian Hudaibiyah. Ketika perjanjiannya usai maka hilanglah hukumnya. Dan berlakunya selesai setelah Fathu Makkah (penaklukan Makkah).
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat 8 berlaku untuk orang kafir yang terikat perjanjian sampai perjanjiannya usai masanya atau perjanjian dibatalkan, yaitu ayat 8 berlaku pada waktu tertentu dan terikat dengan kaum tertentu juga.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat 8 berlaku untuk orang-orang yang tidak mampu berperang dari kalangan wanita musyrik dan anak-anak kaum musyrikin.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa ayat 8 berlaku untuk orang beriman yang lemah yang tidak mampu hijrah ketika hijrah hukumnya wajib. Namun mereka tidak mampu melaksanakannya.
Intinya semua pendapat ini bermuara pada pendapat bahwa ayat 8 sudah dinaskh dengan habis masa berlakunya dan tidak adanya orang-orang yang dimaksud dalam ayat.

Pendapat kedua, ayat 8 ayat yang muhkam. Ini juga disebutkan oleh Al-Qurthubi. Beliau menukilkan dari mayoritas ahli tafsir. Beliau menukilkan, di antara dalil-dalil mereka adalah bahwa ayat 8 ini turun berkaitan dengan ibu Asma binti Abu Bakar radhiyallahu 'anhuma yang mendatanginya padahal ia belum memeluk Islam. Peristiwa itu setelah hijrah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sang ibu mengunjungi putrinya untuk memberikan bingkisan hadiah. Namun putrinya menolak menerimanya dan menolak menemuinya sebelum minta izin kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengizinkannya dan memerintahkannya untuk bersilaturrahim dengan ibunya. Al-Qurthubi menisbatkan riwayat ini kepada Shahih Bukhari dan Muslim.
Ulama lain menyebutkan, Bukhari menyebutkan riwayat ini dalam kitab Tarikh karyanya. Ia  menyebutkan riwayat dari Al-Mawardi bahwa kedatangan ibu Asma pada waktu gencatan senjata. Dan sudah maklum bahwa waktu gencatan senjata termasuk dalam pendapat pertama yang berpendapat bahwa ayat 8 ini mansukh,  yaitu dengan berakhirnya waktu gencatan senjata.

Jadi menurut para ahli tafsir status hukum ayat 8 ini antara muhkam dan mansukh.

Apabila kita merujuk kepada sebab turunnya surat dan kita berpegang dengan peristiwa sebab turunnya ayat tersebut maka akan kita dapati bahwa awal surat turun setelah perjanjian berakhir, yaitu dengan ulah kaum musyrikin yang membatalkan perjanjian, dan ketika kaum muslimin bersiap-siap menaklukan Makkah. Sementara itu, meskipun kedatangan ibu Asma setelah waktu gencatan senjata, pertanyaannya adalah, apakah kaum wanita masuk dalam perjanjian ataukah tidak, karena mereka tidak disebutkan secara tegas dalam perjanjian.

Atas dasar pemahaman ini maka kisah ibu Asma tidak menunjukkan ketidakmansukhan ayat, tidak pula kemansukhannya.
Apabila kita merujuk kepada keumuman lafazh akan kita dapati ayat 8 sangat tegas dan berlaku kepada setiap orang yang tidak memusuhi kaum muslimin dan setiap orang yang tidak menampakkan sikap buruk kepada mereka. Dan maksud ayat ini lebih dekat kepada orang-orang kafir daripada kepada kaum muslimin. Karena berbuat baik kepada kaum muslimin yang lemah sudah menjadi kewajiban syar’i yang maklum.

Atas dasar pemahaman ini maka klaim naskh membutuhkan dalil yang kuat untuk melawan ketegasan nash yang komprehensif ini dan membutuhkan terpenuhinya syarat-syarat naskh yang sudah maklum dalam ilmu ushul tafsir.
Yang menguatkan tidak mansukhnya ayat 8 ini adalah riwayat yang dinukilkan Al-Qurthubi dari mayoritas ahli tafsir bahwa ia ayat yang muhkam. Demikian juga perkataan Syaikh Syinqithi rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala:
{إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً} [3/28]
“kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. (QS. Ali Imran [3]: 28)
… bahwa itu adalah rukhshah dalam kondisi takut dan lemah dengan syarat hati tetap selamat.

Dari alasan ini bisa dipahami bahwa ayat tersebut adalah ayat muhkam dan hukum mengamalkannya tetap wajib ketika kondisi mengharuskannya.

Dan bisa dipahami bahwa jika orang-orang beriman dalam kondisi kuat dan tidak dalam ketakutan dan merasa aman dari orang-orang kafir serta tidak sedang perang dengan mereka dan sedang berdamai dengan mereka maka tidak mengapa berbuat kebajikan kepada mereka dengan memperlakukan mereka secara adil.

Ini termasuk faktor yang bisa mengangkat citra Islam dan kaum muslimin. Bahkan bisa menjadi sarana dakwah untuk mengajak kepada Islam dengan mempergauli mereka dengan cara yang baik dan memikat hati mereka dengan membalas perbuatan baik mereka kepada kaum muslimin serta tidak memusuhi orang-orang yang tidak memusuhi kaum muslimin.
Dan di antara yang menunjukkan hal itu –yaitu keterangan-keterangan yang di depan sudah kami sebutkan- adalah bagian akhir ayat ini. Allah SWT mengakhiri ayat ini dengan firman-Nya:
{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

Ini menjadi penguat dari pendapat yang kami kemukakan. Sebagaimana akhir ayat tadi dibandingkan dengan akhir ayat selanjutnya (ayat 9) dengan firman-Nya:
{وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
“Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 9)

Dalam dua ayat ini terdapat perbandingan antara adil dan zalim. Adil ketika berbuat baik kepada orang yang berdamai denganmu sedangkan zalim ketika orang bermuwalah kepada orang yang memusuhi kaumnya.
Di antara hal yang menolak pendapat naskh adalah ketidakadaan pertentangan antara makna ini dengan ayatus saif. Karena syarat naskh adalah adanya pertentangan dan ketidakmungkinan untuk mengkompromikan. Padahal di sini, mengetahui kapan turunnya kedua ayat bersangkutan dan mengkompromikannya bisa dilakukan dan tidak ada pertentangan. Hal itu karena perintah perang tidak menghalangi untuk berbuat baik sebelum perang. Sebagaimana kaum muslimin tidak pernah menyerang suatu kaum secara mendadak sebelum mengajak mereka kepada Islam. Dan ini jelas termasuk berbuat baik kepada mereka. Dan juga, karena kaum muslimin menerima jizyah dari ahli kitab dan memperlakukan ahli dzimmah dengan sangat baik dan adil.

Kisah Azh-Zha’iinah (Perempuan Musafir) Shaahibatul Mazadatain (Pemilik Dua Kantung Air) dalam Shahih Bukhari, ketika ia tidak perangi, tidak ditawan, atau dirampas airnya oleh utusan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bahka mereka meminta airnya untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengambil  sedikit air dari dua kantung airnya lalu membacakan doa padanya. Kemudian para sahabat meminum dan memberi minum hewan tunggangannya masing-masing sampai semua merasakan air tersebut. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada wanita tersebut, “Ketahuilah bahwa Allahlah yang memberi kami minum dan air dalam kedua kantung airmu tidak berkurang sedikit pun.” Mereka pun memulikannya dan berbuat baik kepadanya dan mengumpulkan makanan untuknya dan mengantarnya kembali ke jalannya semula. Setelah kembali ke kaumnya ia berdakwah mengajak kaumnya untuk masuk Islam.

Kisah Tsumamah ketika dibawa sebagai tawanan dan diikat di pojok masjid. Setelah ia tidak mampu berperang tidak menghalangi kaum muslimin untuk berbuat baik kepadanya, setiap hari ia diberi minum susu yang berasal dari tujuh ekor onta sampai ia dibebaskan. Ia pun akhirnya masuk Islam dengan suka rela. Demikianlah nash firman Allah Ta'ala:
{وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيما وَأَسِيراً} [الانسان: 8] {إِنَّما نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ} الآية [76/8-9].
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. (QS. Al-Insan [76]: 8-9)
Sudah maklum bahwa yang ditawan di tangan kaum muslimin hanyalah orang-orang kafir.

Pada tahun 9 Hijriyah (tahun datangnya para utusan), para utusan yang datang ke Madinah dari kaum muslimin dan dari selain kaum muslimin namun kaum muslimin menerima mereka semua dengan perlakuan baik. Seperti utusan Najran dan selain mereka. Lihatlah utusan Bani Tamim yang datang sambil membanggakan diri mereka dan melakukan negosisasi dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengenai tawanan dari kaum mereka. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun mengizinkan mereka dan mendengarkan syair-syair ungkapan kebanggaan mereka dan memerintahkan orang Islam agar menjawab syair-syair mereka. Pada akhirnya mereka masuk Islam dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan beraneka ragam hadiah. Ini dalil terkuat atas tidak dinaskhnya ayat 8. Karena utusan bani Tamim datang dalam konteks menantang dan berbangga diri. Namun mereka tidak sedang memerangi dan tidak membantu proses pengusiran kaum muslimin dari negeri-negeri mereka. Mereka datang sesuai dengan kebiasaan bangsa Arab. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pun memperlakukan mereka sebagaimana kebiasaan bangsa Arab setelah mengumumkan kepada mereka bahwa beliau tidak diutus untuk membanggakan diri. Namun beliau melakukan itu untuk menjaga hati mereka dan untuk berbuat kebajikan kepada mereka serta untuk memikat hati mereka. Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar melakukan hal itu sehingga mereka semua masuk Islam. ini yang yang bisa dipahami dari semua pendapat yang kami kemukakan.

Imamul Mufassirin, Ath-Thabari, membahas masalah ini dari sisi penukilan dan mengakhiri pembahasannya dengan mengatakan, “Pendapat yang paling benar dalam masalah itu adalah pendapat yang mengatakan bahwa maksud firman Allah Ta'ala:
{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ}
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)
... adalah orang-orang yang berasal dari seluruh agama. Allah tidak melarang kamu untuk berbuat kebajikan kepada mereka dan bersilaturrahim dengan mereka serta berbuat adil kepada mereka. Firman Allah Ta'ala:
{الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ}
“orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)
... berlaku umum kepada semua orang yang memiliki sifat dalam ayat. Allah Ta'ala tidak mengkhususkan hanya pada sebagian orang dengan meninggalkan sebagian yang lain. Sehingga pendapat yang mengatakan bahwa ayat 8 tersebut mansukh tidak berefek apa-apa. Karena kebajikan yang dilakukan kaum mukminin kepada orang-orang kafir harbiy baik yang ada hubungan nasab ataupun tidak hukumnya tidak haram dan tidak dilarang jika perbuatannya itu tidak mengandung perbuatan yang mengandung menunjukkan rahasia kaum muslimin kepada orang-orang kafir harbiy atau tidak mengandung perbuatan yang akan menguatkan orang-orang kafir harbiy seperti dengan memberikan kuda atau senjata.

Kami telah jelaskan kebenaran pendapat kami pada hadits yang telah kami sebutkan yang diriwayatkan dari Zubair mengenai kisah Asma dan ibunya.
Firman Allah Ta'ala:
{إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ}
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang objektif terhadap semua orang dengan memberikan hak masing-masing orang secara adil.  Mereka berbuat kebajikan kepada orang yang berbuat kebajikan kepadanya dan mereka membalas jasa orang yang telah berjasa kepadanya. Selesai nukilan dari Ath-Thabari.
Dalam Tafsir Ayat-ayat Hukum karya Imam Syafi’i rahimahullah terdapat pembahasan penting berkaitan dengan masalah ini. Kami akan menyebutkanya karena keurgensiannya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ}
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

Beliau berkata: Wallahu a'lam, sesungguhnya sebagian kaum muslimin terpengaruh dengan kaum musyrikin yang bersilaturrahim dengan mereka. Saya menganggap itu terjadi ketika kewajiban berjihad melawan mereka dan kewajiban memutus hubungan perwalian dengan mereka turun. Dan turunlah ayat:
{لا تَجِدُ قَوْما يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ} [58/22]
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (QS. Al-Mujadilah [58]: 22)

Ketika kaum muslimin takut bersilaturrahim kepada kerabatnya yang musyrik dengan memberikan harta termasuk mawaddah Allah menurunkan ayat:
{لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ إِنَّما يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8-9)

Imam Syafi’I rahimahullah berkata, “Bersilaturrahim kepada kerabat musyrik dengan memberikan harta, berbuat kebajikan, berlaku adil, berkata-kata lembut dan berkorespondensi berdasarkan hukum Allah bukan termasuk bentuk perwalian kepada orang-orang musyrik yang dilarang. Hal itu karena Allah SWT membolehkan dan tidak mengharamkan berbuat kebajikan dan berlaku adil kepada orang yang tidak membantu orang-orang musyrik yang mengusir mereka. Tetapi Allah melarang perwalian kepada orang-orang yang membantu proses pengusiran kaum muslimin. Karena perwalian berbeda dengan berbuat kebajikan dan berlaku adil. Nabi SAW pernah mengambil uang tebusan sebagian tawanan Badar. Abu Izzah Al-Jumahi termasuk orang yang dibebaskan padahal sebelumnya ia terkenal sangat memusuhi beliau dengan diri dan lisannya. Setelah perang Badar beliau membebaskan Tsumamah bin Utsal padahal sebelumnya ia juga sangat terkenal sangat memusuhi beliau. Beliau pernah memerintahkan untuk membunuhnya. Namun kemudian beliau membebaskannya setelah menawannya. Akhirnya Tsumamah masuk Islam. Sementara itu makanan penduduk Makkah ditahan. Mereka pun meminta Rasulullah agar mengizinkannya untuk memberikan makanan kepada mereka. Beliau pun mengizinkannya. Ia pun memberikan makanan kepada mereka. Allah Ta'ala ‘Azza wa Jalla berfirman,
{وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِيناً وَيَتِيما وَأَسِيراً} [76/8]
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. (QS. Al-Insan [76]: 8)
Para tawanan adalah termasuk orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Selesai.
Inilah pendapat yang dibenarkan oleh Ibnu Jarir dan dishahihkan oleh Syafi’i rahimahullah yang juga merupakan tuntutan ruh hukum Islam.

Adapun sisi pandang yang kami janjikan untuk menjelaskannya adalah bahwa kaum muslimin pada  hari ini punya kepentingan yang sama antara sebagian mereka dengan sebagian yang lain serta punya keterkaitan kepentingan dengan negara-negara lain di dunia ini yang mereka adalah negara musyrik dan ahli kitab. Sekarang ini umat Islam tidak mungkin hidup menyendiri mengisolasi diri dari negara-negara lain di dunia karena mereka punya kepentingan yang sama. Terutama di bidang ekonomi yang menjadi urat nadi kehidupan pada hari ini. Seperti dalam sektor produksi, industri, atau pemasaran. Atas dasar ini, ayat di atas membantu dibolehkannya bermuamalah dengan orang-orang kafir non harbi dan saling tukar menukar kepentingan. Hal itu dilakukan atas asas apa yang dikatakan Ibnu Jarir dan Syafi’i serta apa yang disebutkan Syaikh Syinqithi rahimahumullah mengenai hakikat sikap kaum muslimin pada hari ini terhadap peradaban barat dalam beberapa ceramahnya dan dalam kitab tafsir Adhwaul Bayan. Hal itu dengan syarat apa yang dikatakan Syaikh rahimahullah, yaitu dengan syarat selamatnya hati. Dalam arti tidak adanya kecenderungan hati terhadap (kekafiran) mereka. Seandainya dikatakan ada syarat lain, maka syarat itu adalah tidak adanya apa yang mereka butuhkan di tengah kaum muslimin sendiri. Dalam arti negara Islam harus bekerja sama dulu dengan negara Islam lainnya. Apabila yang mereka butuhkan tidak ada pada kaum muslimin tetapi adanya di negara kafir yang tidak memerangi dan tidak membantu musuh dalam memerangi mereka maka ketika itu tidak apa-apa bekerja sama dengan negara-negar kafir non harbi tersebut.

Yang menguatkan pendapat ini dalam prakteknya adalah muamalah Nabi SAW serta para khalifah pengganti beliau kepada orang-orang Yahudi di Khaibar. Padahal tidak diragukan lagi bahwa mereka masuk dalam cakupan firman Allah Ta'ala:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ} [60/1]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 1)
dan dinashkan tidak boleh bermuwalah kepada mereka dalam firman Allah Ta'ala:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ} [5/51].
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah [5]: 51)

Tetapi meski demikian, ketika mereka diusir dari Madinah dan setelahnya dikepung di Khaibar dan Allah memenangkan beliau SAW atas mereka sehingga mereka menjadi di bawah kekuasaannya maka mereka setelah itu menjadi tidak dalam posisi memerangi dan membantu musuh mengusir kaum muslimin dari negeri mereka. Maka, Rasulullah SAW memperlakukan mereka dengan adil. Mereka dibiarkan tinggal di Khaibar dan pohon-pohon korma milik mereka juga dibiarkan untuk mereka. Namun mereka diperlakukan seperti buruh bayaran yang bekerja untuk kepentingan beliau SAW dan kaum muslimin. Beliau SAW tidak menjadikan mereka sebagai budak yang dimanfaatkan untuk mengelola tanah Khaibar. Mereka tetap diperlakukan dengan adil sebagaimana diceritakan dalam kisah Ibnu Rawahah radhiyallahu 'anhu ketika pergi ke mereka dan mereka menawarkan risywah (sogokan) kepadanya untuk meringankan mereka. Ia mengatakan perkataannya yang masyhur: “Demi Allah, kalian adalah makhluk yang paling aku benci. Aku datang kepada kalian disuruh oleh makhluk yang paling aku cintai. Kebencianku kepada kalian dan kecintaanku kepadanya tidak akan membuatku berbuat zalim kepada kalian. Ambillah setengah dari yang sudah ditentukan dan tahanlah tangan kalian (dari memberi sogokan).” Mereka berkata kepadanya, “Dengan inilah langit dan bumi tegak.” Yaitu dengan keadilan. Mereka tetap tinggal di sana sampai beliau wafat, masa kekhalifahan Abu Bakar Shiddiq dan awal masa kekhalifahan Umar sampai akhirnya mereka diusir dari Khaibar.

Semisal dengan mereka adalah muallafatu qulubuhum (orang-orang yang baru masuk Islam atau sedang tertarik kepada Islam) yang diberi (ghanimah) oleh beliau SAW setelah Fathu Makkah. Juga diberi oleh khalifah Abu Bakar. Sampai dilarang oleh Umar radhiyallahu 'anhu.
Kami telah berpanjang lebar membahas masalah ini karena keurgensiannya dan karena pada hari ini kita sangat membutuhkannya.

Di akhir pembahasan. Yang semakin memperjelas masalah ini dan tidak ada seorang pun mengklaim naskh adalah firman Allah Ta'ala:
{وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي ما لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُما وَصَاحِبْهُما فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفاً} [31/15].
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman [31]: 15)
Ini adalah bentuk muamalah yang baik, kebajikan dan perbuatan baik kepada orang yang memaksa seorang muslim untuk menyekutukan Allah, namun ia tidak memerangi kaum muslimin. Dan ternyata hak orang tua harus didahulukan meski mereka kafir dan memaksa berbuat syirik.

Demikian juga di akhir surat ini Allah Ta'ala berfirman,
{فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لاَ هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلاَ هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ} [60/10].
“maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. (QS. Al-Mumtahanah [60]: 10)
Kemudian Allah Ta'ala berfirman,
{وَآتُوهُمْ ما أَنْفَقُوا} [60/10]
“Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar.” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 10)
Yakni orang-orang musyrik, suami-suami wanita mukminah yang berhijrah, apa yang telah mereka berikan kepada istri-istri mereka setelah hijrahnya istri-istri mereka. Setelah istri-istri mereka masuk Islam dan hijrah dan ikatan antara istri dengan suaminya yang kafir terlepas dan si istri sudah jauh karena sudah hijrah, Allah memerintahkan kaum muslimin memberikan mahar nikah yang telah diberikan kepada suami-suami yang masih musyrik dan kafir. Suami-suami tersebut juga tidak bisa mengembalikan istri-istri dan istri-istri sama sekali tidak boleh bermuawalah kepada suami-suami karena kekafiran mereka. Ini adalah bagian dari muamalah dengan adil. Ilmu yang sebenarnya hanya di sisi Allah Ta'ala.

Lampiran

Hadits tentang Kisah Azh-Zha’iinah (Perempuan Musafir) Shaahibatul Mazadatain (Pemilik Dua Kantung Air)

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَوْفٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو رَجَاءٍ عَنْ عِمْرَانَ قَالَ  كُنَّا فِي سَفَرٍ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّا أَسْرَيْنَا حَتَّى كُنَّا فِي آخِرِ اللَّيْلِ وَقَعْنَا وَقْعَةً وَلَا وَقْعَةَ أَحْلَى عِنْدَ الْمُسَافِرِ مِنْهَا فَمَا أَيْقَظَنَا إِلَّا حَرُّ الشَّمْسِ وَكَانَ أَوَّلَ مَنْ اسْتَيْقَظَ فُلَانٌ ثُمَّ فُلَانٌ ثُمَّ فُلَانٌ يُسَمِّيهِمْ أَبُو رَجَاءٍ فَنَسِيَ عَوْفٌ ثُمَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ الرَّابِعُ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا نَامَ لَمْ يُوقَظْ حَتَّى يَكُونَ هُوَ يَسْتَيْقِظُ لِأَنَّا لَا نَدْرِي مَا يَحْدُثُ لَهُ فِي نَوْمِهِ فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ عُمَرُ وَرَأَى مَا أَصَابَ النَّاسَ وَكَانَ رَجُلًا جَلِيدًا فَكَبَّرَ وَرَفَعَ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ فَمَا زَالَ يُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ حَتَّى اسْتَيْقَظَ بِصَوْتِهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا اسْتَيْقَظَ شَكَوْا إِلَيْهِ الَّذِي أَصَابَهُمْ قَالَ لَا ضَيْرَ أَوْ لَا يَضِيرُ ارْتَحِلُوا فَارْتَحَلَ فَسَارَ غَيْرَ بَعِيدٍ ثُمَّ نَزَلَ فَدَعَا بِالْوَضُوءِ فَتَوَضَّأَ وَنُودِيَ بِالصَّلَاةِ فَصَلَّى بِالنَّاس فَلَمَّا انْفَتَلَ مِنْ صَلَاتِهِ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُعْتَزِلٍ لَمْ يُصَلِّ مَعَ الْقَوْمِ قَالَ مَا مَنَعَكَ يَا فُلَانُ أَنْ تُصَلِّيَ مَعَ الْقَوْمِ قَالَ أَصَابَتْنِي جَنَابَةٌ وَلَا مَاءَ قَالَ عَلَيْكَ بِالصَّعِيدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيكَ ثُمَّ سَارَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاشْتَكَى إِلَيْهِ النَّاسُ مِنْ الْعَطَشِ فَنَزَلَ فَدَعَا فُلَانًا كَانَ يُسَمِّيهِ أَبُو رَجَاءٍ نَسِيَهُ عَوْفٌ وَدَعَا عَلِيًّا فَقَالَ اذْهَبَا فَابْتَغِيَا الْمَاءَ فَانْطَلَقَا فَتَلَقَّيَا امْرَأَةً بَيْنَ مَزَادَتَيْنِ أَوْ سَطِيحَتَيْنِ مِنْ مَاءٍ عَلَى بَعِيرٍ لَهَا فَقَالَا لَهَا أَيْنَ الْمَاءُ قَالَتْ عَهْدِي بِالْمَاءِ أَمْسِ هَذِهِ السَّاعَةَ وَنَفَرُنَا خُلُوفًا قَالَا لَهَا انْطَلِقِي إِذًا قَالَتْ إِلَى أَيْنَ قَالَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ الَّذِي يُقَالُ لَهُ الصَّابِئُ قَالَا هُوَ الَّذِي تَعْنِينَ فَانْطَلِقِي فَجَاءَا بِهَا إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَحَدَّثَاهُ الْحَدِيثَ قَالَ فَاسْتَنْزَلُوهَا عَنْ بَعِيرِهَا وَدَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِإِنَاءٍ فَفَرَّغَ فِيهِ مِنْ أَفْوَاهِ الْمَزَادَتَيْنِ أَوْ سَطِيحَتَيْنِ وَأَوْكَأَ أَفْوَاهَهُمَا وَأَطْلَقَ الْعَزَالِيَ وَنُودِيَ فِي النَّاسِ اسْقُوا وَاسْتَقُوا فَسَقَى مَنْ شَاءَ وَاسْتَقَى مَنْ شَاءَ وَكَانَ آخِرُ ذَاكَ أَنْ أَعْطَى الَّذِي أَصَابَتْهُ الْجَنَابَةُ إِنَاءً مِنْ مَاءٍ قَالَ اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ وَهِيَ قَائِمَةٌ تَنْظُرُ إِلَى مَا يُفْعَلُ بِمَائِهَا وَايْمُ اللَّهِ لَقَدْ أُقْلِعَ عَنْهَا وَإِنَّهُ لَيُخَيَّلُ إِلَيْنَا أَنَّهَا أَشَدُّ مِلْأَةً مِنْهَا حِينَ ابْتَدَأَ فِيهَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اجْمَعُوا لَهَا فَجَمَعُوا لَهَا مِنْ بَيْنِ عَجْوَةٍ وَدَقِيقَةٍ وَسَوِيقَةٍ حَتَّى جَمَعُوا لَهَا طَعَامًا فَجَعَلُوهَا فِي ثَوْبٍ وَحَمَلُوهَا عَلَى بَعِيرِهَا وَوَضَعُوا الثَّوْبَ بَيْنَ يَدَيْهَا قَالَ لَهَا تَعْلَمِينَ مَا رَزِئْنَا مِنْ مَائِكِ شَيْئًا وَلَكِنَّ اللَّهَ هُوَ الَّذِي أَسْقَانَا فَأَتَتْ أَهْلَهَا وَقَدْ احْتَبَسَتْ عَنْهُمْ قَالُوا مَا حَبَسَكِ يَا فُلَانَةُ قَالَتْ الْعَجَبُ لَقِيَنِي رَجُلَانِ فَذَهَبَا بِي إِلَى هَذَا الَّذِي يُقَالُ لَهُ الصَّابِئُ فَفَعَلَ كَذَا وَكَذَا فَوَاللَّهِ إِنَّهُ لَأَسْحَرُ النَّاسِ مِنْ بَيْنِ هَذِهِ وَهَذِهِ وَقَالَتْ بِإِصْبَعَيْهَا الْوُسْطَى وَالسَّبَّابَةِ فَرَفَعَتْهُمَا إِلَى السَّمَاءِ تَعْنِي السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ أَوْ إِنَّهُ لَرَسُولُ اللَّهِ حَقًّا فَكَانَ الْمُسْلِمُونَ بَعْدَ ذَلِكَ يُغِيرُونَ عَلَى مَنْ حَوْلَهَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ وَلَا يُصِيبُونَ الصِّرْمَ الَّذِي هِيَ مِنْهُ فَقَالَتْ يَوْمًا لِقَوْمِهَا مَا أُرَى أَنَّ هَؤُلَاءِ الْقَوْمَ يَدْعُونَكُمْ عَمْدًا فَهَلْ لَكُمْ فِي الْإِسْلَامِ فَأَطَاعُوهَا فَدَخَلُوا فِي الْإِسْلَامِ  قَالَ أَبُو عَبْد اللَّهِ صَبَأَ خَرَجَ مِنْ دِينٍ إِلَى غَيْرِهِ وَقَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ . { الصَّابِئِينَ } فِرْقَةٌ مِنْ أَهْلِ الكِتَابِ يَقْرَءُونَ الزَّبُورَ

(BUKHARI - 331) : Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Sa'id berkata, telah menceritakan kepada kami 'Auf berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Raja' dari 'Imran berkata, "Kami pernah dalam suatu perjalanan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, kami berjalan di waktu malam hingga ketika sampai di akhir malam kami tidur, dan tidak ada tidur yang paling enak (nyenyak) bagi musafir melebihi yang kami alami. Hingga tidak ada yang membangunkan kami kecuali panas sinar matahari. Dan orang yang pertama kali bangun adalah si fulan, lalu si fulan, lalu seseorang yang Abu 'Auf mengenalnya namun akhirnya lupa. Dan 'Umar bin Al Khaththab adalah orang keempat saat bangun, Sedangkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila tidur tidak ada yang membangunkannya hingga beliau bangun sendiri, karena kami tidak tahu apa yang terjadi pada beliau dalam tidurnya. Ketika 'Umar bangun dan melihat apa yang terjadi di tengah banyak orang (yang kesiangan) -dan 'Umar adalah seorang yang tegar penuh keshabaran-, maka ia bertakbir dengan mengeraskan suaranya dan terus saja bertakbir dengan keras hingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbangun akibat kerasnya suara takbir 'Umar. Tatkala beliau bangun, orang-orang mengadukan peristiwa yang mereka alami. Maka beliau bersabda: "Tidak masalah, atau tidak apa dan lanjutkanlah perjalanan." Maka beliau meneruskan perjalanan dan setelah beberapa jarak yang tidak jauh beliau berhenti lalu meminta segayung air untuk wudlu, beliau lalu berwudlu kemudian menyeru untuk shalat. Maka beliau shalat bersama orang banyak. Setelah beliau selesai melaksanakan shalatnya, didapatinya ada seorang yang memisahkan diri tidak ikut shalat bersama orang banyak. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Wahai Fulan, apa yang menghalangimu untuk shalat bersama orang banyak?" Orang itu menjawab, "Aku lagi junub, sementara air tidak ada." Beliau lantas menjelaskan: "Kamu cukup menggunakan debu." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melanjutkan perjalanan hingga akhirnya orang-orang mengadu kepada beliau bahwa mereka kehausan. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meminta seseorang yang bernama Abu Raja' -namun 'Auf lupa- dan 'Ali seraya memerintahkan keduanya: "Pergilah kalian berdua dan carilah air." Maka keduanya berangkat hingga berjumpa dengan seorang wanita yang membawa kantung-kantung berisi air dengan untanya. Maka keduanya bertanya kepadanya, "Dimana ada air?" Wanita itu menjawab, "Terakhir aku lihat air di (daerah) ini adalah waktu sekarang ini. dan perjalanan kami ini juga dalam rangka mencari air." Lalu keduanya berkata, "Kalau begitu pergilah". Wanita itu bertanya, "Kalian mau kemana?" Keduanya menjawab, "Menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam." Wanita itu bertanya, "Kepada orang yang dianggap telah keluar dari agama (Shabi'i)?" Keduanya menjawab, "Ya dialah yang kamu maksud." Kemudian kedua sahabat Nabi itu pergi bersama wanita tersebut menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Keduanya kemudian menceritakan peritiwa yang baru saja dialami. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Turunkanlah dia dari untanya." Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meminta bejana air, beliau lalu menuangkan di mulut kantung-kantung air (milik wanita itu), beliau lepas ikatan kantung-kantung air tersebut seraya berseru kepada orang banyak: "Ambillah air dan minumlah sesuka kalian!" Maka orang-orang memberi minum (tunggangan mereka) dan meminum sesuka mereka. Dan akhir, beliau memberi seember air kepada orang yang tadi terkena janabah. Beliau lalu berkata kepadanya: "Pergi dan mandilah." Dans ambil berdiri wanita tersebut mengamati apa yang diperbuat terhadap air kepunyaannya. Demi Allah, kejadian tadi telah membuatnya terperanjat dan juga kami, kami saksikan airnya bertambah banyak dibanding saat yang pertama. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam lalu bersabda: "Berkumpulkan (makanan) untuknya." Maka orang-orang pun mengumpulkan makanan berupa kurma, tepung, sawiq (campuran antara susu dengan tepung) untuk wanita tersebut. makanan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kain, mereka menaikkan wanita tersebut di atas kendaraan dan meletakkan makanan tersebut di depannya. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata kepada wanita tersebut: "Kamu mengetahui bahwa kami tidak mengurangi sedikitpun air milikmu, tetapi Allah yang telah memberi minum kepada kami." Wanita tersebut kemudian pulang menemui keluarganya, mereka lalu bertanya, "Wahai fulanah, apa yang membuat kamu terlambat?" Wanita tersebut menjawab, "Suatu keajaiban! Aku bertemu dengan dua orang laki-laki yang kemudian membawaku bertemu dengan seorang yang disebut Shabi'I, lalu laki-laki itu berbuat begini begini. Demi Allah, dialah orang yang paling menakjubkan (membuat kejadian luar biasa) di antara yang ada ini dan ini." Wanita tersebut berkata sambil memberi isyarat dengan mengangkat jari tengah dan telunjuknya ke arah langit, atau antara langit dan bumi. Maksudnya bersaksi bahwa dia adalah Utusan Allah yang haq. Sejak saat itu Kaum Muslimin selalu melindungi wanita tersebut dari Kaum Musyrikin dan tidaklah Kaum Muslimin merusak rumah atau kediaman wanita tersebut. Pada suatu hari wanita itu berkata kepada kaumnya, "Aku tidak memandang bahwa kaum tersebut membiarkan kalian dengan sengaja. Apakah kalian mau masuk Islam?" Maka kaumnya mentaatinya dan masuk ke dalam Islam." Abu 'Abdullah berkata, "Yang dimaksud dengan Shabi'i adalah keluar dari suatu agama kepada agama lain." Sedangkan Abu' 'Aliyah berkata, "Ash-Shabi'un adalah kelompok dari Ahlul Kitab yang membaca Kitab Zabur."

Kisah Tsumamah Tawanan Nabi

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْلًا قِبَلَ نَجْدٍ فَجَاءَتْ بِرَجُلٍ مِنْ بَنِي حَنِيفَةَ يُقَالُ لَهُ ثُمَامَةُ بْنُ أُثَالٍ فَرَبَطُوهُ بِسَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِي الْمَسْجِدِ فَخَرَجَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَطْلِقُوا ثُمَامَةَ فَانْطَلَقَ إِلَى نَخْلٍ قَرِيبٍ مِنْ الْمَسْجِدِ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَقَالَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ

(BUKHARI - 442) : Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf berkata, telah menceritakan kepada kami Al Laits berkata, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Abu Sa'id bahwa ia mendengar Abu Hurairah berkata, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengirim pasukan berkuda mendatangi Najed, pasukan itu lalu kembali dengan membawa seorang laki-laki dari bani Hanifah yang bernama Tsumamah bin Utsal. Mereka kemudian mengikat laki-laki itu di salah satu tiang masjid. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lalu keluar menemuinya dan bersabda: "Lepaskanlah Tsumamah." Tsumamah kemudian masuk ke kebun kurma dekat Masjid untuk mandi. Setelah itu ia kembali masuk ke Masjid dan mengucapkan, "Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selian Allah dan Muhammad adalah utusan Allah."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar