Senin, 17 Januari 2011

Koreksi Terhadap Konsep Maslahat dan Fitnah

Oleh, Dr. Sa’ad Al-Faqih 
(Pimpinan Harokah Islamiyah lil Ishlah / Gerakan Islam Untuk Reformasi)


Masalah fitnah dan maslahat termasuk masalah yang jadi bahan permainan rezim berkuasa (penguasa) dan para ulamanya yang tidak ikhlas kepada Allah Ta'ala –sebagaimana hal ini akan nampak jelas bagi para pembaca dan orang-orang yang obyektif-- dalam berkhidmah terhadap agama ini.

Mereka malah ‘ikhlas’nya kepada penguasa dan mendahulukan kehendaknya daripada kehendak Allah Ta'ala. Mereka punya persiapan untuk memalsukan istilah-istilah dan konsep-konsep, membolak-balik maknanya, menjadikan yang benar menjadi batil dan yang batil menjadi benar. Wal ‘iyyadzubillah.

Di antara istilah-istilah yang berhasil dipermainkan mereka adalah istilah fitnah dan maslahat. Kedua istilah tersebut berhasil mereka ubah, simpangkan dan selewengkan maknanya agar rezim berkuasa dapat menggunakannya untuk mengokohkan palsunya legalitas kekuasaan mereka dan menteror segala upaya untuk membongkar kepalsuan tersebut. Talbis (pengaburan makna) dari ulama penguasa terhadap masyarakat semakin menambah masalah ini semakin runyam. Mereka melariskan beberapa istilah yang tidak jelas maknanya yang terlanjur tersebar luas dan dihafal masyarakat. Mereka menjadikan istilah-istilah tersebut sederajat dengan nash-nash yang qath’i sehingga dijadikan sandaran fatwa dan sikap.


Padahal sebagian istilah tersebut tidak ada asalnya, asalnya nyleneh atau mungkar, atau diklaim sebagai pendapat ulama dan pemaknaannya dimodifikasi demi menjadi wasilah (sarana) untuk melancarkan tujuan-tujuan penguasa.
Kami akan mulai menjabarkan secara umum istilah maslahat, definisi, dan pendapat para ulama seputarnya:

Definisi Maslahat

Kata ‘maslahat’ sebenarnya tidak ada dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Namun para fuqaha (para pakar fikih) dan ushuliyun (para pakar ushul fikih) lah yang membuat istilah tersebut dan menggunakannya, kemudian mereka berijtihad menjelaskan dan memberikan kaidahnya sehingga tidak berbalik berubah menjadi mengikuti hawa nafsu dan kebodohan.
Secara terminologi, maslahat adalah setiap manfaat yang terkandung dalam maksud-maksud syariat namun tidak memiliki dalil penguat yang membuatnya diperhitungkan atau diabaikan. Terkadang dinamakan maslahat mursalah dari sisi pengabaian. Karena seandainya ada penguat yang membuatnya diperhitungkan maka berarti ia adalah nash sharih (dalil yang jelas), bukan maslahat. Seandainya bermanfaat menurut pandangan akal manusia dan ada penguat yang membuatnya diabaikan maka ia tidak ada nilainya dalam syariat.

Ketentuan-ketentuan Maslahat, pertimbangan-pertimbangannya, dan syarat-syarat menjadikannya Maslahat secara syariat

Pertama: Masuk secara umum dalam maksud-maksud syariat yang lima dan yang terrepresentasikan dalam menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta di mana disyariatkanlah segala apa yang dapat menjaga maksud-maksud syariat tersebut dan dilaranglah segala apa yang bertentangan dengannya.

Kedua: Tidak bertentangan dengan Al-Kitab atau As-Sunnah, sebagaimana nampak jelas dari definisi dan karena tidak boleh berijtihad ketika ada nash dalil dan karena yang namanya maslahat adalah dengan mengikuti syariat itu sendiri.

Ketiga: Tidak bertentangan dengan ijma’ karena ijma’ bersifat qath’i sedangkan maslahat bersifat zhanni.

Keempat: Tidak bertentangan dengan qiyas, karena meng-qiyas-kan hukum terhadap suatu nash dalil kedudukannya lebih kuat daripada maslahat mursalah.

Kelima: Tidak menghilangkan maslahat lain yang lebih penting daripadanya. Para fuqaha berpendapat bahwasanya jika ada dua maslahat bertentangan maka syariat mendahulukan yang terkuat dan paling utama. Maka, maslahat umat lebih diutamakan daripada maslahat individu sekalipun ia seorang hakim (penguasa).

Menghilangkan mafsadat lebih diutamakan daripada mendapatkan maslahat
(Dar-ul Mafasid Muqaddam ‘ala Jalbil Mashalih)

Ini merupakan ungkapan yang laris manis di tengah masyarakat dan banyak disalahpahami serta disalahgunakan. Rezim berkuasa dan para pembantunya menggunakannya untuk melegalisasi eksistensinya atau untuk memperringan pengaruh ketidaklegalannya. Padahal sebenarnya ungkapan ini adalah dalil yang justru merugikan mereka. Oleh karena itu mereka menggunakannya tanpa menjabarkannya dengan panjang lebar karena khawatir masyarakat akan menimbang-nimbang antara mafsadat dan maslahat ketika kondisi mengharuskan untuk menyingkirkan rezim berkuasa. Mereka membahasnya dengan tergesa-gesa sehingga tidak ada seorang pun yang dapat mengenali mafsadat-mafsadatnya dan sama sekali tidak berharap untuk lari darinya.

Dengan sering mengulang-ulang ungkapan ini mereka hendak pemahaman di benak masyarakat bahwa mengganti rezim berkuasa otomatis akan menimbulkan fitnah yang akan menghancurkan segala sesuatu. Sehingga masyarakat pun merasa nyaman dengan mereka dan menganggap buruk pikiran membahas legalitas rezim berkuasa.

Bagaimanapun juga ungkapan itu bukan kaidah syar’i, bukan pula asas dalam beristimbath. Namun ia masuk dalam syarat kelima dari syarat-syarat mempraktikkan maslahat di mana para ulama berijtihad dalam menimbang-nimbang kesyar’ian suatu maslahat. Ia adalah suatu ungkapan yang tidak layak untuk menentang dalil-dalil syar'i, apalagi mengalahkannya. Juga, tidak boleh membangun hukum-hukum syar'i dengan menggunakan ungkapan ini secara mutlak, karena maknanya memang bersifat relatif, tidak jelas ukurannya. Bahkan berbeda-beda tergantung kondisi penerapannya. Dan sebagaimana kami melihat bahwa penentuan maslahat adalah penentuan yang syar'i maka demikian juga penentuan mafsadat juga penentuan yang syar'i, yang tidak bisa dilakukan hanya dengan sekadar meninabobokan atau menyebarkan propaganda.

Fitnah

Kata fitnah banyak terdapat dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Makna-maknanya dapat ditelusuri dan diketahui dari kitab-kitab tafsir Al-Qur'an dan syarah-syarah hadits. Tidak boleh membuat-buat maknanya yang baru. Untuk itu kami akan menelusurinya semampu kami dengan maksud untuk menjelaskannya dengan menjauhkan dari konsep-konsep yang membuat kita membatasi maknanya pada konsep-konsep tersebut.

Definisi fitnah secara bahasa

Al-Azhari berkata: Makna inti kata fitnah dalam bahasa arab adalah ibtila (cobaan) dan imtihan (ujian). [Tahdzib Al-Lughah 14/296]

Ibnu Faris berkata: Huruf fa, ta, dan nun adalah asal yang benar yang menunjukkan makna ibtila dan ikhtibar (ujian). [Maqayis Al-Lughah 4/472]

Ibnul Atsir berkata: Fitnah adalah imtihan dan ikhtibar. [An-Nihayah 410]
Dalam Al-Fath (3/13) Ibnu Hajar juga berpendapat dengan pendapat yang mirip dengan pendapat tersebut (Ibnul Atsir).

Ibnul A’rabi meringkaskan makna-makna fitnah dengan perkataannya: fitnah adalah ikhtibar. Fitnah adalah mihnah. Fitnah adalah harta. Fitnah adalah anak-anak. Fitnah adalah kekafiran. Fitnah adalah perbedaan pendapat manusia. Dan, fitnah adalah membakar dengan api. [Lisan Al-‘Arab karya Ibnu Manzhur]

Makna-makna istilah fitnah dalam Al-Qur'an
  1. Ibtila dan ikhtibar
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut [29]: 2).
Menurut Ath-Thabari لا يُفْتَنُونَ artinya لا يبتلون .

2. Menghalang-halangi dan memalingkan (Ash-shadd ‘an as-sabiil wa ar-radd)
وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْك
“Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]: 49)
Menurut Al-Qurthubi يَفْتِنُوكَ artinya يصدوك ويردوك .

3. Siksa (adzab)
ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan Sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; Sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nahl [16]: 110)
فتنوا artinya عذبوا .

4. Syirik dan kufur:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi.” (QS. Al-Baqarah [2]: 193)
Menurut Ibnu Katsir فِتْنَةٌ artinya شرك .

5. Jatuh dalam kemaksiatan dan kemunafikan:
وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِي
“... tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran Kami) dan kamu ragu- ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong ...” (QS. Al-Hadid [57]: 14)
Menurut Al-Baghawi فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ artinya kalian menjatuhkan diri kalian dalam kemunafikan dan membinasakannya dengan melakukan berbagai maksiat dan mengikuti syahwat-syahwat buruknya.

6. Bercampurnya kebenaran dengan kebatilan (isytibahul haq bil bathil):
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. jika kamu (hai Para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (QS. Al-Anfal [8]: 73)
إِلا تَفْعَلُوهُ artinya jika kalian tidak bermuwalah (memberikan loyalitas) kepada orang mukmin tapi justru kepada orang kafir sekalipun ia saudara kandung ‘niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi’ artinya bercampurnya kebenaran dengan kebatilan. [Jami’ Al-Bayan karya Ibnu Jarir]

7. Menyesatkan:
وَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ فِتْنَتَهُ
“Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya.” (QS. Al-Maidah [5]: 41)
Makna fitnah di sini adalah menyesatkan (idhlal). [Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan 4/262]

8. Pembunuhan (al-qatl) dan penawanan (al-asr):
إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“... jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. An-Nisa’ [4]: 101)
Maksud ayat tersebut adalah jika kamu takut serangan orang-orang kafir hingga dikhawatirkan mereka dapat membunuh dan menawan orang-orang mukmin sementara mereka sedang shalat dan sujud. Hal ini sebagaimana tafsiran dari Ath-Thabari.

9. Perselisihan manusia dan tidak bersatunya hati mereka (ikhtilafun naas wa ‘adamu ijtima’i qulubihim):
وَلَأَوْضَعُوا خِلَالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ
“... dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk Mengadakan kekacauan di antara kamu.” (QS. Al-Anfal [8]: 47)
artinya mereka mengadakan perselisihan di antara kalian, sebagaimana dalam Tafsir Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari (2/277)

10. Gila:
بِأَيِّيكُمُ الْمَفْتُونُ
“Siapa di antara kamu yang gila.” (QS. Al-Qalam [68]: 6)
Al-Maftun artinya gila.

11. Membakar dengan api
إِنَّ الَّذِينَ فَتَنُوا الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan ....” (QS. Al-Buruj [85]: 10)

Inilah makna-makna kata ‘fitnah’ secara makna bahasa dan syariat. Jika kita perhatikan makna-makna tersebut kita dapatkan bahwa hanya satu makna saja yang mendekati maksud rezim berkuasa dan para pembelanya; tidak sama persis dengan maksud mereka, yaitu makna ‘peselisihan manusia dan tidak bersatunya hati mereka’. Mereka menguatkan makna tersebut dengan sebuah atsar “Fitnah sedang tidur, semoga laknat Allah menimpa orang yang membangunkannya”. Padahal atsar tersebut atsar yang mungkar atau tidak ada asalnya. Dan dalam kedua kondisi tersebut sama sekali tidak boleh berhujjah menggunakannya.

Konteks ayat yang mengandung makn tersebut “وَلَأَوْضَعُوا خِلَالَكُمْ يَبْغُونَكُمُ الْفِتْنَةَ” memperingatkan kaum muslimin Madinah menjelang perang Uhud dari bahaya orang-orang munafik terhadap kaum muslimin. Karena mereka hendak memunculkan perselisihan di tengah kaum muslimin. Maka bagaimana makna-makna tersebut dihapus atau dilupakan dari makna-makna ‘fitnah’ lainnya yang tersebut di atas?

Istilah ‘fitnah’ dalam Hadits

Ada banyak hadits yang menyebutkan kata ‘fitnah’. Secara global ada dua macam:
Pertama: berlindung dari fitnah, seperti fitnah Al-Masih Dajjal, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian.
Kedua: berita-berita tentang berbagai fitnah yang akan terjadi di masa depan.

Bagaimana kita memahami peringatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari berbagai fitnah tersebut? Jawabannya adalah dengan dengan mengetahui bagaimana melindungi kaum muslimin dari saling bunuh dan bagaimana menyatukan mereka.

Oleh karena itu ketika Allah Ta'ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,” (QS. Ali Imran [3]: 103)

Allah Ta'ala tidak berfirman ‘berpegang teguhlah kamu semua dengan tali penguasa’ atau ‘berpegang teguhlah kamu semua dengan tali Ibnu Saud’; tetapi Dia berfirman “dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah”. Maka berpegang teguh, bersatu, dan berkumpul hanya di sekeliling tali Allah Ta'ala dan berpegang teguh dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah serta rujuk dan kembali kepadanya serta berhakim kepada kebenaran ini.

Jika kita ingin mengetahui apa yang akan terjadi di tengah masyarakat maka kita harus kembali kepada apa yang Allah Ta'ala dan rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada kita berupa sunnah-sunnah Allah ‘Azza wa Jalla dan undang-undang-Nya dlm berbagai masyarakat dan negara. sunnah-sunnah ilahiyah ini tidak akan pernah berganti, mundur dan berubah serta tidak pandang bulu kepada siapa pun. Jika kamu melakukan sebab-sebab fulaniyah maka kamu akan diberi hasil-hasil fulaniyah. Jika kamu mengambil kehati-hatian fulaniyah maka Allah akan melindungimu dari akibat-akibat fulaniyah. Semua sunnah-sunnah ini mengatakan bahwa akibat mendiamkan kezaliman dan kemungkaran --yang dilakukan terang-terangan dan yang tersebar luas di tengah masyarakat-- amat mengerikan. Ia akan  menyebabkan kebinasaan dan dijatuhkannya hukuman dari Allah Ta'ala. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta'ala:
فَتِلْكَ بُيُوتُهُمْ خَاوِيَةً بِمَا ظَلَمُوا
“Maka itulah rumah-rumah mereka dalam Keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka.“ (QS. An-Naml [27]: 52)
Dalam ayat tersebut terdapat isyarat adanya sebab dan akibat.

Akan tetapi sunah-sunah robbaniyah berjalan lambat mengejutkan orang-orang yang lalai yang melupakan hal tersebut, baik hukuman sosial ini dalam bentuk saling memerangi atau dalam bentuk bencana alam (adzab kauniy) semisal tanah longsor, gempa bumi, ditenggelamkan di laut atau yang lainnya. Para ulama –semoga Allah merahmati mereka—telah mengingatkan sunah-sunah ini. Al-‘Allamah Ibnu Khaldun menyendirikan satu pasal pembahasan masalah tersebut dalam Muqaddimah-nya dengan judul ‘Kezaliman Mengakibatkan Khancuran Dunia’.

Apabila ingin menghindari berbagai fitnah maka engkau harus beramar ma’ruf nahi mungkar, mengadakan perbaikan (reformasi), menghilangkan segala bentuk kezaliman, kesombongan, dan kemungkaran yang dikerjakan terang-terangan. Hal ini sebagaimana disinggung Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an:
كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (QS. Al-Maidah [5]: 79)

Dan sebagaimana yang disinggung dalam kisah Ashabus Sabt (orang-orang bani Israil yang membuat ulah di hari Sabtu). Allah Ta'ala berfirman,
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ أَنْجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُوا بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ
“Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik.” (QS. Al-A’raf [7]: 165)

Dan sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadits masyhur yang menceritakan kisah orang-orang yang ada dalam perahu yang terdapat dalam Shahih Bukhari:
فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Apabila mereka membiarkan keinginan mereka (yang hendak melubangi perahu untuk mengambil air minum) niscaya binasalah semua penumpang dan jika mereka menghalanginya niscaya semua penumpang akan selamat.”

Demikian juga hadits:
وَلَتَأطِرُنَّهُ عَلَى الحَقِّ أطْراً ، وَلَتَقْصُرُنَّه عَلَى الحَقِّ قَصْراً ، أَوْ لَيَضْرِبَنَّ اللهُ بقُلُوبِ بَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضٍ[1]
“dan kalian benar-benar mengikut kepada kebenaran dan benar-benarnya mengurungnya di atas kebenaran, kalau kalian tidak berbuat demikian, maka Allah akan menutup hati kalian,”
dan termasuk sunah ilahiyah adalah yang tersebut dalam Al-Qur'an:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du [13]: 11)

Apabila kita ingin menghindari hati yang saling tidak bertemu dan saling membenci maka kita harus beramar ma’ruf nahi mungkar. Jika kita ingin selamat dari siksa dunia maka kita harus beramar ma’ruf nahi mungkar. Bukan malah kita mengaggap usaha-usaha perbaikan sebagai bentuk fitnah.

Silakan Anda baca perkataan Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika menafsirkan firman Allah Ta'ala:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلَا تَفْتِنِّي
“Di antara mereka ada orang yang berkata: "Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” (QS. At-Taubah [9]: 49)
“Ketika amar ma’ruf nahi mungkar mengakibatkan ujian dan cobaan yang bisa membuat seseorang tertimpa fitnah manusia pun banyak beralasan untuk meninggalkan kewajiban tersebut bahwa ia inngin mencari selamat dari fitnah, sebagaimana firman Allah Ta'ala tentang orang-orang munafik:
وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ ائْذَنْ لِي وَلَا تَفْتِنِّي أَلَا فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوا
“Di antara mereka ada orang yang berkata: "Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah." ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah.” (QS. At-Taubah [9]: 49)

Maka bagaimana seorang yang berakal mencari selamat dari fitnah kecil yang belum mengenainya namun malah menjatuhkan diri dalam fitnah besar yang telah menimpanya?” (Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: 28/166).






[1] Teks lengkapnya:
ثُمَّ قَالَ : (( كَلاَّ، وَاللهِ لَتَأمُرُنَّ بالمَعْرُوفِ ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ المُنْكَرِ ، وَلَتَأخُذُنَّ عَلَى يَدِ الظَّالِمِ ، وَلَتَأطِرُنَّهُ عَلَى الحَقِّ أطْراً ، وَلَتَقْصُرُنَّه عَلَى الحَقِّ قَصْراً ، أَوْ لَيَضْرِبَنَّ اللهُ بقُلُوبِ بَعْضِكُمْ عَلَى بَعْضٍ ، ثُمَّ ليَلْعَننكُمْ كَمَا لَعَنَهُمْ ))
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah seperti mereka. Demi Allah! kalian harus menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran, dan menahan kejahatan orang zhalim, dan kalian kembalikan ke jalan yang hak dan kalian batasi dalam hak tersebut. Kalau kalian tidak berbuat demikian, maka Allah akan menutup hati kalian, kemudian melaknat kalian, sebagaimana Allah melaknat mereka.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan”) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar